Rektor UIN Palu: Manfaatkan Idul Fitri untuk berdamai dengan kesalahan

Palu, 31/3 (UIN-DK) – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Profesor Kiai Haji Lukman Thahir mengajak umat Islam di Tanah Air khususnya di Sulawesi Tengah, untuk memanfaatkan momentum Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriah sebagai momen berdamai dengan kesalahan.

“Idul fitri, yang hari ini kita rayakan dengan penuh kebahagiaan, dapat juga kita maknai dalam pengertian memaafkan dan berdamai dengan kesalahan,” kata Profesor Lukman Thahir, dalam khutbahnya pada Sholat Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriah di Masjid Pakarosi Aqsa, di Kota Palu, Senin (31/3).

Ia mengemukakan, makna ini sejalan dengan makna yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW., “Addinuannashihah” bahwa agama itu adalah nasehat, dan salah satu nasihat agama yang penting di hari Idul Fitri ini adalah kita belajar untuk memaafkan dan berdamai dengan kesalahan.

Tidak ada individu yang yang merdeka dari kesalahan. Dalam interaksi sehari-hari, semua manusia adalah “manusia berperasaan”, pernah berhadapan dengan perilaku seseorang yang memicu rasa kecewa, jengkel, marah, kesal, dan berbagai situasi yang tidak menyenangkan. Kita semua pernah mengalami gejolak yang secara mental sebagai respons atas perlakuan tidak menyenangkan dari seseorang yang kita terima. Sebaliknya kita sendiri, secara sengaja atau tidak sengaja, pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain.

“Pada titik ini, banyak orang sangat sulit untuk memaafkan orang lain,” ujarnya.

Memaafkan bukan berarti melupakan apa yang terjadi dan menghapus pengalaman buruk secara total dari ingatan kita. Melupakan adalah memilih untuk tidak membiarkan kejadian masa lalu menguasai hidup kita. Memaafkan memang bukan sesuatu yang gampang. Namun berarti tidak dapat dilakukan.

“Maka maafkanlah dan berdamailah dengan kesalahan,” ucapnya.

“Hari ini kita berkumpul, duduk di masjid yang kita banggakan ini untuk mensyukuri hari kemenangan dan kebahagiaan kita. Pada hari ini juga bersama kita jutaan kaum muslimin di seluruh wilayah negeri ini melaksanakan shalat Ied. Dalam shalat ini seluruh kaum muslimin dengan tidak membedakan warna kulit dan status sosial, kaya maupun miskin, pejabat atau masyarakat biasa, mempunya niat yang sama, gerakan yang sama dan tujuan yang sama, tidak lain adalah menyerahkan dirinya, memuji dan bersyukur hanya kepada Allah Penguasa alam semesta,” ujarnya.

Suasana seperti ini telah menggugah kesadaran kita, bahwa sesungguhnya semua umat muslim adalah sama di hadapan Allah. Kesamaan ini membawa kedudukan kita sederajat, dan kedudukan yang sederajat ini melahirkan rasa persaudaraan dan sikap solidaritas, saling meng-hargai, saling menghormati, dan saling memahami antara satu sama lainnya di antara sesame kita umat beragama.

Suasana kesadaran seperti inilah yang diharapkan akan selalu melekat pada jiwa orang-orang-orang yang telah berpuasa sebulan lamanya di bulan Ramadhan, dan seterusnya kita berusaha untuk menjaganya tetap bersih, suci seperti kertas putih yang masih kosong coretannya.

Itulah makna sejati dari Idul Fitri, kita berusaha untuk mensucikan diri dari segala sifat yang berpotensi mengotori jiwa kita. Manusia yang hatinya kotor akan sangat mudah melihat orang lain adalah musuh yang harus disingkirkan. Mereka tidak akan tenang melihat kehadiran orang lain. Mereka akan selalu rakus, sombong, dan acuh tak acuh. Mereka melupakan hakikat manusia yang sesungguhnya adalah bersaudara.
“Benar, apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “sesungguhnya manusia itu ada dua modelnya: Jika dia bukan saudaramu seagama, maka dia pasti saudaramu sekemanusiaan”.

Pernyataan Ali bin Abi Thalibini penting kita renungkan, karena, semakin kedepan, kita bukan semakin dihadapkan dengan manusia yang suka berdamai, malah suka menyulut permusuhan antarsesama.***

Penulis Naskah: Muhammad Hajiji