Akademisi: Permendikbud PPKS iktiar pemerintah cegah kekerasan seksual

Akademisi Fakultas Tarbiyah Ilmu Keguruan (FTIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Sulawesi Tengah, Dr Arifuddin M Arif menilai Peraturan menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, sebagai bentuk iktiar baik dari pemerintah untuk mencegah kekerasan seksual, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat mahasiswa.

“Terbitnya Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini sesungguhnya adalah keinginan baik dan merupakan ikhtiar pemerintah, dalam pencegahan dan penanganan sikap dan perilaku kekerasan seksual, yang terjadi di perguruan tinggi,” kata Dr Arifuddin M Arif, di Palu, Rabu.

Sebelumnya, pada 31 Agustus 2021 Mendikbudristek Nadiem Makarim telah meneken Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi, selanjutnya disebut Permen PPKS.

Pelaksana Tugas Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Prof Nizam mengatakan tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Atas hal itu, Dr Arifuddin menilai kekerasan seksual di lembaga pendidikan, memang menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian selain masalah perundungan dan intoleransi. Sehingga memang sangat urgen direspon dan dintervensi dengan instrumen hukum.

“Pada prinsipnya kami mengapresiasi Kemendikbud-Ristek, atas penerbitan Permendikbud-Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi,” sebut Dr Arifuddin.

Namun, kata Dr Arifuddin dalam merumuskan standar norma hukumnya atau peraturan-peraturannya harus juga perlu dengan penuh sikap kehati-hatian.

“Saya kira rumusan norma hukum harus dibuat dengan basis norma, logika, dan etika hukum yang relevan dengan semangat nilai-nilai ke-Indonesiaan kita, yang sangat religius dan berbudaya,” kata Dr Arifuddin yang juga sebagai Kepala Pusat Audit dan Pengembangan Mutu LPM UIN Datokarama.

“Harapannya, sekiranya bijak dan peka membaca beberapa respon dari beberapa kalangan komponen Ormas atas Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini, maka Mendikbud-Ristek mesti segera mengevaluasi Permendikbud-Ristek. karena memang banyak diktum di dalamnya, seperti masalah defenisi kekerasan seksual dan kategorisasi legal dan tidk leganya kekerasan seksual dengan standar konteks sama-sama suka atau tidak suka, ada dan tidak adanya persetujuan korban, dan sebagainya,” ujarnya.

Menurut dia, diktum pasal-pasal serta ayat dalam aturan tersebut, tidak berbasis pada nilai-nilai luhur dan falsafah bangsa yang religius dan Pancasilais.

“Karena, ini bisa saja membuka peluang dan ruang terjadinya sikap dan perilaku seks bebas yang tidak berimplikasi hukum. Padahal, ini mestinya dilihat pada pencegahan tindakan pelanggarana norma susila. Suka atau tidak sama suka, setuju atau tidak setuju oleh korban mesti dicegah dan ditangani, karena masalah moral,” ujarnya lagi.

Sumber : humas UIN Darokarama Palu