Ketika ribuan jamaah haji dari berbagai belahan dunia berkumpul di Arafah, pemandangan yang tersaji bukan sekadar ritual keagamaan. Di Arafah, pemandangan yang tersaji bukan sekadar ritual keagamaan. Di sana, Muslim sunni berdampingan dengan Syiah, pengikut madzhab Hanafi belajar dengan Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mereka semua membaca Alquran yang sama, namun dengan tafsir yang tak selalu identik. Fenomena ini mengajukan pertanyaan mendasar: bisakah perbedaan tafsir menjadi jembatan dialog, bukan tembok pemisah?
Sejak masa awal Islam, keragaman dalam menafsirkan Alquran bukanlah hal baru. Imam at-Tabari, ar-Razi, al-Qurtubi, hingga Ibnu Katsir memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami ayat-ayat suci. Perbedaan ini lahir dari konteks sosial, metodologi keilmuan, bahkan pergumulan intelektual zamannya. yang ironis, di era informasi yang seharusnya membuka cakrawala, justru muncul kecendrungan untuk mengklaim satu tafsir sebagai yang paling benar, sementara yang lain dianggap sesat.
Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam klasik, perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam cabang (furu’) dihormati sebagai rahmat. Kaidah “ikhtilaf al-Ummah rahmah” bukan sekedar slogan, melainkan prinsip epistemologis yang mengakui keterbatasan manusia dalam memahami kehendak ilahi secara absolut.
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana perbedaan tafsir sering dieksploitasi untuk kepentingan politik identitas. Sunni dan syiah saling mengkafirkan, tradisionalis dan modernis saling menyerang, seolah kebenaran hanya monopoli satu kelompok. Media sosial memperburuk polarisasi ini dengan menciptakan echo chamber yang memperkuat prasangka.
Namun, sejumlah ulama kontemporer mulai menggagas pendekatan berbeda. Mereka tidak lagi bertanya “tafsir mana yang paling benar”?, tetapi “apa yang bisa kita pelajari dari keragaman tafsir ini?”. Pendekatan lintas madzhab dalam tafsir menawarkan beberapa keunggulan:
Pertama, memperkaya pemahaman. Ketika tafsir sunni cenderung menekankan aspek hukum dan ritual, tafsir syiah sering lebih filosofis dan esoteris. Keduanya bisa saling melengkapi dalam memahami dimensi zahir dan batin Alquran.
Kedua, mencegah absolutisme. Dengan membandingkan berbagai tafsir, kita menyadari bahwa setiap penafsiran adalah produk manusia yang terikat ruang dan waktu. Ini mencegah arogansi intelektual yang mengklaim kebenaran tunggal.
Ketiga, mengurangi konflik sektarian. Ketika muslim Sunni memahami argument tafsir Syiah, dan sebaiknya, prasangka mulai runtuh. Dialog tafsir bisa menjadi terapi sosial di tengah masyarakat yang terpolarisasi.
Pendekatan lintas madzhab bukan berarti relativisme yang menganggap semua tafsir sama benarnya. Ada standar keilmuan yang harus dipenuhi: keabsahan sanad, kesesuaian dengan kaidah Bahasa Arab, relevansi dengan asbabun nuzul, dan koherensi dengan prinsip-prinsip universal Alquran.
Yang diperlukan adalah sikap akademis yang jujur: mengakui perbedaan tanpa menghakimi, mengkritisi dengan hormat, dan belajar dengan rendah hati. Universitas-universitas Islam progresif mulai memasukkan komparasi tafsir dalam kurikulumnya, memperkenalkan mahasiswa pada khazanah tafsir dari berbagai madzhab dan tradisi.
Tentu saja, upaya ini menghadapi resistensi, kelompok konsevatif menganggap dialog lintas madzhab sebagai bentuk sinkretisme yang mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Di sisi lain, kelompok sekuler mencurigai ini sebagai upaya kosmetik tanpa substansi.
Namun, di tengah dunia yang semakin terpecah, dialog tafsir lintas madzhab bukan pilihan, melainkan keniscayaan. Globalisasi membuat Muslim dari berbagai madzhab hidup berdampingan. Mereka menikah, berbisnis, dan membangun komunitas bersama. Tanpa pemahaman yang inklusif, gesekan akan terus terjadi.
Indonesia, dengan keragaman madzhab dan organisasi keagamannya, memiliki modal sosial untuk menjadi model. NU dan Muhammadiyah, meski berbeda dalam beberapa aspek tafsir, telah menunjukkan bahwa perbedaan bisa dikelola dengan dewasa. Tradisi pesantren yang mengajarkan tafsir dengan metode muqaranah (komparasi) perlu terus dikembangkan.
Alquran menyatakan bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Keragaman tafsir alaha ekspresi dari dinamisme pemikiran Islam. Yang perlu kitab ubah bukan keragaman itu sendiri, melainkan cara kita meresponsnya.
Tafsir lintas madzhab mengajarkan kita untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai undangan untuk berpikir lebih dalam, lebih luas, dan lebih bijaksana. Di era yang penuh dengan perpecahan, kita membutuhkan tafsir yang menyatukan, bukan yang memecah belah.
Karena pada akhirnya, Alquran diturunkan bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk diamalkan dalam kehidupan yang penuh rahmat dan keadilan.***
Penulis: Dr. Kamridah




