Bagian Ketujuh dari Seri Jejak-Jejak Safira dan Sang Guru
“Kadang Tuhan menegur dengan halus, kadang dengan dentuman yang mengguncang bumi. Tetapi tujuannya selalu sama — agar manusia kembali mendengar.” — Imam Syafi‘i.
Bumi dan Laut sebagai Mahluk Yang bertasbih
Bencana alam dalam pandangan Islam bukan sekadar peristiwa geologis, melainkan komunikasi simbolik antara manusia dan alam semesta. Dalam Al-Qur’an, bumi dan laut digambarkan sebagai makhluk yang tasbīḥ — mereka berzikir, tunduk, dan berbicara dalam bahasa ketaatan. Gempa, banjir, dan tsunami sering kali dipahami para ulama sebagai bentuk tadzkirah, peringatan lembut agar manusia kembali menata hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan makhluk).
Namun, peringatan itu kerap hanya ditangkap sebagai malapetaka. Manusia modern lebih sibuk mencari sebab fisik ketimbang pesan metafisik. Padahal, di balik setiap gelombang dan patahan bumi, ada bisikan Tuhan yang mengingatkan manusia akan kelemahannya. Di sinilah spiritualitas ekologi menjadi penting — memandang alam bukan sebagai objek, tetapi sebagai ayat (tanda) yang harus dibaca dengan hati yang bersih. Ketika kita belajar mendengar alam, sebenarnya kita sedang belajar mendengar kembali suara Tuhan di dalam diri kita.
“Ketika Bumi dan Laut Berbicara”
Senja itu menumpahkan warna tembaga di langit Teluk Palu. Safira berdiri di tepi pantai, matanya memantulkan cahaya matahari yang perlahan tenggelam di balik gunung Gawalise. Dari kejauhan, terdengar riuh orang-orang menyiapkan panggung Nomoni — festival budaya yang setiap tahun menggetarkan kota.
“Guru,” katanya pelan, “indah sekali sore ini. Seakan langit dan laut sedang berdzikir.”
Sang Guru, lelaki bijak dengan wajah teduh, menatap garis cakrawala. “Indah, iya. Tapi jangan lupa, Safira — alam juga bisa berbicara bukan hanya lewat keindahan. Kadang, ia menegur dengan cara yang keras, karena manusia terlalu lama tak mendengarkan.”
Safira menoleh, sedikit heran. “Maksud Guru?”
“Lihatlah bukit-bukit itu,” katanya sambil menunjuk gunung Gawalise. “Mereka mulai gundul. Sungai di bawahnya tak lagi jernih. Tepian Pantai juga tak terurus. Nampak Alam sedang menahan amarahnya, dan manusia masih sibuk bersuara tanpa mau mendengar.”
Tak lama setelah itu, saat sore menjelang magrib, bumi bergetar. Laut yang tadi tenang tiba-tiba menelan daratan. Langit gelap, bunyi gemuruh menggantikan tawa. Dalam sekejap, semua berubah menjadi kepanikan.
Safira terseret arus, tubuhnya terbanting ke pasir, dan air membawanya hingga ke samping pompa bensin dekat jalan raya. Saat akhirnya ia tersadar, kota yang penuh cahaya itu telah sunyi. Hanya suara ombak yang tersisa — berat, dalam, dan penuh pesan.
Di antara reruntuhan bangkai kendaraan, Sang Guru berdiri dengan pakaian basah, wajahnya tenang meski matanya menyimpan duka. Sopir kendaraannya telah lari meninggalkannya. Untung saja ketika itu ada kendaraan roda dua yang memboncengnya, sehingga ia selamat dari amarah laut, dan membawanya hingga ketepi jalan raya. Di sana ia melihat Safira sedang duduk dengan muka pucat. “Safira,” katanya perlahan, “inilah ketika laut berbicara.” Safira menunduk, air matanya bercampur dengan air laut.
“Apakah laut marah kepada kita, Guru?”
“Tidak,” jawab Sang Guru, “laut tidak punya amarah. Ia hanya menunaikan takdirnya — menjadi cermin bagi manusia. Ia memantulkan kembali apa yang manusia lakukan padanya.”
Hari-hari berlalu. Kota itu perlahan bangkit. Safira sering duduk di tepi pantai bersama Sang Guru, memandang laut yang kembali tenang. Ombak berdebur lembut, seolah menghapus sisa-sisa tangis.
“Guru,” ucap Safira suatu sore, “mengapa Tuhan menegur lewat alam, bukan lewat kata?”
Sang Guru tersenyum. “Karena manusia sering kali menolak mendengar kata, tapi tak bisa menolak kenyataan. Gempa, air bah, badai — semuanya adalah huruf-huruf dari kitab besar bernama alam semesta. Kita diminta membacanya dengan hati, bukan sekadar dengan mata.”
Safira termenung. Angin sore membawa aroma garam dan tanah basah. Dalam hatinya muncul doa yang pelan: agar manusia kembali belajar bersahabat dengan bumi, agar suara Nomoni suatu hari nanti benar-benar menjadi simfoni antara manusia dan alam, bukan perayaan di atas luka.
Kini, setiap kali Safira menatap laut Palu di bawah sinar bulan, ia teringat kata Sang Guru:
“Alam tidak menghukum, ia hanya mengingatkan.
Dengarlah sebelum suara angin berubah menjadi gemuruh.
Jadilah manusia yang menjaga, bukan menaklukkan.”
Dan dalam kesenyapan malam, Safira merasa laut itu berbicara lagi — kali ini dengan lembut.
Bukan sebagai peringatan, tapi sebagai pengampunan.
Renungan Penutup
Kebenaran tak selalu butuh suara; cahaya tak pernah berteriak untuk membuktikan bahwa ia menerangi. Begitu pula laut — ia diam, tapi keheningannya menyimpan ribuan makna.
Dari riak kecil hingga gelombang besar, laut mengajari manusia tentang keseimbangan: bahwa setiap yang diambil dari bumi harus dikembalikan dalam kasih.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah terciptanya langit dan bumi, dan berlainannya bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berilmu.” (QS. Ar-Rūm [30]: 22).***
Lukman S. Thahir




