Bagian Keenam dari Seri Jejak-Jejak Safira dan Sang Guru
“Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang, melainkan aku berharap kebenaran tampak pada dirinya.” — Imam Syafi‘i, Refleksi dariKitab al-Umm dan adab berdebat….
Kebenaran bukan sekedar hasil Logika
Dalam khazanah keilmuan Islam, kebenaran (al-ḥaqq) bukan sekadar hasil logika, melainkan cahaya yang lahir dari kejujuran hati dan kejernihan niat. Karena itu, cara seseorang menyampaikan kebenaran sering kali lebih menentukan dampaknya daripada kebenaran itu sendiri. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang tidak disampaikan dengan adab akan menimbulkan perlawanan, bukan penerimaan. Sebab hakikat ilmu bukanlah untuk memenangkan perdebatan, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran. Begitu pula Imam Syafi‘i—dalam kehalusan lisannya—menyindir bahwa kebenaran tidak akan pernah sampai kepada hati yang tertutup oleh keangkuhan.
Dalam konteks ini, kebijaksanaan (ḥikmah) menjadi jembatan antara ilmu dan hati manusia. Orang bijak tidak hanya berkata benar, tapi juga tahu kapan, bagaimana, dan kepada siapa kebenaran itu disampaikan. Karena terkadang, diam lebih mendidik daripada seribu kata yang diteriakkan.
Senja Di Tepi Kedai
Senja mulai merambat turun di kota Palu. Sang guru duduk di sebuah kafe kecil di tepi jalan, ditemani secangkir kopi hitam yang asapnya menari lembut di udara. Safira duduk tak jauh di depannya, matanya mengikuti arah pandang sang guru yang tengah memperhatikan sekelompok orang yang sedang berdebat keras di sudut ruangan. “Safira,” ujar sang guru perlahan, “pernahkah engkau merasa bahwa sebagian orang lebih senang mendengar suaranya sendiri daripada memahami makna yang disampaikan orang lain?”
Safira tersenyum samar. “Sepertinya mereka sedang mencari kemenangan, bukan kebenaran, Guru.” Sang guru menatap kopi di depannya, lalu menjawab, “Benar, Fira. Imam Syafi‘i pernah berkata, ‘Saat kamu menyampaikan kebenaran, kamu akan mendapat dua reaksi: orang cerdas akan merenung, sedangkan orang bodoh akan tersinggung.’ Dan aku baru saja menyaksikan kebenaran itu menegaskan dirinya.”
Safira terdiam, lalu berkata lembut, “Tapi bukankah menyampaikan kebenaran adalah tugas setiap jiwa yang mencintai cahaya?” Sang guru tersenyum — senyum yang menenangkan seperti fajar. “Betul, Safira. Tapi kadang, menyampaikan kebenaran itu bukan dengan lidah, melainkan dengan laku. Karena lidah bisa menyalakan amarah, tapi ketulusan bisa menyalakan kesadaran. Kau tak perlu membujuk lalat agar mencintai bunga. Tugasmu hanyalah menjaga agar bunga itu tetap mekar.”
Mereka berdua lalu terdiam. Di luar jendela, matahari perlahan turun di ufuk barat, meninggalkan jejak cahaya oranye di langit Palu. Dan dalam keheningan sore itu, Safira menyadari — bahwa diamnya sang guru bukanlah ketidakpedulian, melainkan bentuk paling halus dari cinta kepada kebenaran. Akhirnya, dari kejadian itu, Safira kemudian baru memahami mengapa sang guru pernah berpesan kepadanya: “Jika engkau ingin menanam kebenaran di hati manusia, jangan gunakan api amarah, tapi air kasih sayang, karena tanah yang panas tak bisa ditumbuhi benih apa pun.”🌾
Renungan Penutup: Diam yang Menyala
Kebenaran tak selalu butuh suara, karena cahaya tak pernah berteriak untuk membuktikan bahwa ia menerangi. Ada kalanya, justru dalam diam, hati belajar mendengar lebih dalam. Manusia sering tergoda untuk membela kebenaran dengan suara paling nyaring, padahal yang paling dalam tak selalu yang terdengar. Kebenaran sejati justru tumbuh dalam keheningan: ketika seseorang menundukkan egonya, dan membiarkan nuraninya berbicara pelan. Mereka yang telah mengenal cahaya tidak lagi sibuk menyalakan api di luar dirinya. Ia tahu, yang perlu diterangi adalah ruang-ruang gelap di dalam dada. Maka, diam bukanlah kekalahan — melainkan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.
Kebenaran bukan hasil dari siapa yang lebih pandai berlogika, tetapi siapa yang lebih tulus menjaga hatinya dari kebencian. Karena di hadapan Allah, bukan suara yang ditimbang, melainkan niat di balik kata. Dan di titik itulah, manusia menemukan kedamaian yang sejati — ketika ia berhenti berdebat tentang cahaya, dan mulai menjadi cahaya itu sendiri.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” — Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.
Lukman S. Thahir___Safira…




