Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997-2012, kini tengah menghadapi paradoks kehidupan yang unik. Di satu sisi, mereka adalah generasi paling terdididk dan terkoneksi dalam sejarah manusia. Akses informasi ada di ujung jari, teknologi memudahkan segala aspek kehidupan. Namun di sisi lain, data WHO menunjukkan peningkatan drastic kasus depresi, kecemasan, dan krisis identitas di kalangan generasi ini. Survey nasional juga mengungkap melemahnya karakter moral, menurunnya empati sosial, dan fragmentasi spritualitas pada remaja kita.
Pertanyaannya: Bagaimana sistem Pendidikan kita merespon kondisi ini? Apakah cukup hanya dengan menambah jam pelajaran agama atau sekadar program literasi digital? Atau jangan-jangan, kita perlu Kembali menggali khazanah Pendidikan Islam yang telah teruji berabad-abad lamanya?
Ulil albab: lebih dari sekadar kecerdasan Kognitif
Alquran menyebut istilah “ulil albab” sebanyak 16 kali dalam berbagai konteks, secara harfiah, ulil albab berarti “orang-orang yang memiliki akal sehat” atau “pemilik inti pemikiran”. Namun jika kita telusuri ayat-ayatnya secara komprehensif, konsep ulil albab jauh melampaui sekadar kecerdasan intelektual belaka.
Dalam surah Ali Imran ayat 190-191, Allah menggambarkan ulil albab sebagai mereka yang berzikir sambal memikirkan penciptaan langit dan bumi. Ini menunjukkan integrasi antara dimensi spiritual (dzikir) dan intelektual (tafakkur). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, ulil albab dikaitkan dengan hikmah, kemampuan menempatkan sesuatu pada proporsi yang tepat. Sementara dalam surah ar-Ra’d ayat 19, mereka adalah orang-orang yang mampu membedakan yang haq dan yang bathil.
Dari pemetaan ayat-ayat ini, kita menemukan bahwa ulil albab memiliki minimal tiga dimensi kecerdasan yang terintegarsi: Kecerdasan intelektual (kemampuan berpikir kritis dan analitis), Kecerdasan spiritual (kesadaran transende dan makna hidup), dan Kecerdasan moral-sosial (kepekaan terhadap kebenaran dan keadilan).
Bukankan ini yang sangat dibutuhkan generasi Z? mereka tidak kekurangan informasi, tetapi kehilangan kebijaksanaan. Mereka pintar, tetapi seringkali kehilangan arah. Mereka terhubung secara digital, tetapi terputus secara emosional dan spiritual.
Ketika Pendidikan Karakter Terjebak dalam Formalisme
Jujur harus kita akui, Pendidikan karakter di Indonesia masih terjebak dalam pendekatan yang parsial dan formalistik. Di banyak sekolah, Pendidikan karakter direduksi menjadi hafalan nilai-nilai Pancasila, slogan-slogan moral di dinding kelas, atau seremoni upacara bendera yang monoton. Pembelajaran agama pun kerap berhenti pada level ritualistik dan doktrinal, tanpa menyentuh pembentukan kesadaran kritis dan spritualitas mendalam.
Akibatnya, kita melihat fenomena “split personality” pada peserta didik: di sekolah taat beribadah, di media sosial menyebar hoaks dan ujaran kebencial. Di kelas menghafalkan nilai-nilai toleransi, di luar sekolah melakukan perundungan terhadap teman yang berbeda. Ini bukan semata kesalahan siswa, tetapi kegagalan sistem Pendidikan kita yang tidak mampu mengintegrasikan ketiga dimensi kecerdasan tersebut.
Model Pendidikan ulil albab menawarkan solusi integartif. Ia tidak memisahkan antara pengembangan akal, hati, dan Tindakan. Tidak ada dikotomi antara pengetahuan agama dan sains, antara spritualitas dan rasionalitas, antara kesalehan individual dan kepedulian sosial.
Implementasi Praktis: dari Konsep ke Aksi
Lalu bagaimana mengimplementasikan konsep ulil albab dalam konteks Pendidikan kita hari ini? Berikut beberapa Langkah strategis yang dapat dilakukan:
Pertama, revolusi pedagogi dari teacher-centered ke inquiri-based learning. Alquran sendiri penuh dengan pertanyaan yang merangsang pemikiran: “apala ta’qilun? (tidakkah kalian berpikir?), “apala yatadabbarun? (tidakkah mereka merenungkan?). pembelajaran harus mendorong siswa untuk bertanya, meragukan, menyelidiki, bukan hanya menerima informasi mentah. Generasi Z yang tumbuh dengan akses informasi unlimited butuh kemampuan berpikir kritis untuk memilah informasi, bukan hanya menyerapnya.
Kedua, integrasi kontemplasi dalam kurikulum. Sekolah-sekolah kita terlalu hiruk-pikuk dan padat jadwal. Siswa berlari dari satu mata pelajaran ke pelajaran lain tanpa ruang untuk refleksi. Padahal, tafakkur (kontemplasi) adalah inti dari konsep ulil albab. Sekolah perlu menyediakan ruang dan waktu untuk mindfulness, refleksi diri, dan kontemplasi spiritual. Ini bukan sekadar program tambahan, tetapi harus menjadi ruh dari seluruh proses pembelajaran.
Ketiga, Pembelajaran berbasis masalah sosial nyata. Ulil albab bukan hanya cerdas secara konseptual, tetapi juga peduli dan responsive terhadap realitas sosial. Siswa perlu diajak terlibat dalam proyek-proyek kemanusiaan; program literasi untuk anak jalanan, kampanye lingkungan, advokasi hak-hak kelompok margninal. Melalui keterlibatan langsung ini, empati tidak diajarkan sebagai konsep abstrak, tetapi dialami sebagai pengalaman konkret.
Keempat, pendampingan spiritual yang personal. Setiap siswa memiliki pergulatan spiritual yang unik. Guru tidak cukup hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai mentor spiritual yang mampu mendampingin siswa dalam pencarian makna hidupnya. Ini membutuhkan perubahan paradigma: dari guru sebagau instruktur menjadi guru sebagau fasilitator pertumbuhan holistik.
Kelima, literasi digital yang berbasis etika. Generasi Z adalah digital native, tetai mereka perlu dibimbing untuk menggunakan teknologi secara bijaksana dan etis. Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran akan dampak digital footprint, etika berkomunikasi di ruang maya, dan kemampuan untuk digital detox Ketika diperlukan.
Tantangan dan Harapan
Tentu saja, mengimplementasikan model Pendidikan ulil albab bukan perkara mudah. Ada tantangan struktural: kurikulum yang overload, sistem evaluasi yang masih beroritentasi pada nilai kognitif semata, dan belum siapnya banyak pendidik untuk melakukan transformasi pedagogi. Ada juga tantangan kultural: masyarakat yang masih mengukur kesuksesan Pendidikan dari ranking dan nilai ujian, bukan dari pembentukan karakter dan kebijaksanaan.
Namun, krisis yang dihadai generasi Z adalah alarm yang tidak boleh kita abaikan. Data bunuh diri remaja yang meningkat, kasus perundungan yang masif, radikalisme dikalangan pelajar, dan degradasi moral yang mengkhawatirkan adalah bukti bahwa Pendidikan kita butuh transformasi fundamental, bukan sekadar polesan kosmetik.
Model Pendidikan ulil albab menawarkan jalan keluar yang berakar pada tradisi keilmuan Islam yang kaya, namun tetap relevan dan responsive terhadap tantangan kontemporer. Ia mengajak kita untuk tidak memilih antara modernitas dan spritualitas, antara sains dan agama, antara kemajuan teknologi dan kebijaksanaan tradisional. Sebaliknya, ia mengintegrasikan semuanya dalam satu visi Pendidikan yang utuh dan humanis.
Penutup
Jika kita menginginkan generasi Z yang tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana, tidak hanya sukses tetapi juga Bahagia, tidak hanya kompetitif tetapi juga empatik, maka konsep ulil albab adalah jawaban yang telah disediakan Alquran sejak 14 abad silam. Saatnya kita menerjemahkan konsep agung ini menjadi praktik Pendidikan yang nyata.
Pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi transformasi manusia. Dan transformasi yang sejati hanya terjadi Ketika akal, hati, dan Tindakan Bersatu dalam harmoni-persisi seperti yang digambarkan dalam konsep ulil albab.
Penulis: Dr Kamridah