Beberapa waktu lalu, media sosial di hebohkan dengan kasus seorang remaja yang mengakhiri hidupnya akibat cyberbullying. Komentar-komentar pedas, hinaan bertubi-tubi, dan ujaran kebencian yang ia terima di media sosial menjadi beban psikologis yang tak tertahankan. Di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana sebuah postingan sederhana berisi ajakan kebaikan mampu mengumpulan donasi miliaran rupiah untuk membantu sesama. Dua cerita kontras ini mengingatkan kita pada satu hakikat: di Era digital, surga dan neraka benar-benar di ujung jari kita.
Ketika Jari lebih Tajam dari Pedang
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari Muslim). Hadis ini turun lebih dari 14 Abad yang lalu, jauh sebelum internet dan media sosial ada. Namun relevansinya justru semakin nyata di zaman now.
Masalahnya, kemudahan berkomunikasi di dunia digital ternyata berbanding terbalik dengan kualitas komunikasi itu sendiri. Jarak fisik dan anonimitas menciptakan ilusi kebebasan tanpa konsekuensi. Orang merasa bisa mengatakan apa saja, menghakimi siapa saja, bahkan menyebarkan kebencian-semuanya hanya dengan sekali tap atau klik.
Fenomena “keyboard warrior” kini menjadi penyakit sosial. Grup WhatsApp keluarga yang seharusnya menjadi ruang silaturahmi, berubah menjadi arena debat kusir. Timeline media sosial yang seharusnya mengispirasi, dipenuhi hoaks, fitnah, dan ghibah digital. Bahkan tak jarang, kita temukan akun-akun yang mengatasnamakan agama justru menjadi corong ujaran kebencian.
Alquran Berbicara tentang Etika Komunikasi
Alquran sebenarnya telah memberikan panduan lengkap tentang etika komunikasi, yang sangat aplikatIf untuk dunia digital. Mari kita renungkan beberapa ayat berikut:
Pertama, Prinsip Qaulan sadida (perkataan yang benar dan tepat). Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 70, “wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan perkataan yang benar.” Dalam konteks digital, ini berarti kita wajib melakukan verifikasi sebelum menyebarkan informasi. Tidak asal forward, tidak asal share, tidak asal retweet.
Kedua, Prinsip Tabayyun (klarifikasi dan verifikasi). QS. Al-Hujuran: 6 menegaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya.” Ayat ini turun terkait kasus berita bohong yang hampIr memicu konflik. Bukankah ini sangat mirip dengan fenomena hoaks di media sosial hari ini?
Ketiga, larangan ghibah (menggunjing). Allah mengibaratkan ghibah seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati (QS. Al-Hujurat: 12). Jika menggunjing secara langsung saja dosanya seberat itu, bagaimana dengan menggunjing di grup WhatsApp yang bisa dibaca ratusan orang? Bagaimana dengan hate comment yang terekam digital dan bisa viral ke jutaan mata.
Keempat, prinsip qaulan Ahsana (ucapan yang paling baik). QS. al-Isra: 53 memerintahkan, “katakanlah kepada hamba-hamba-ku agar mereka mengucapkan perkataan yang baik.” Bukan sekadar baik, tapi “yang paling baik” (Ahsana). Ini adalah standar tinggi yang Allah tetapkan untuk komunikasi umat Islam.
Muhasabah Digital
Banyak orang lupa bahwa setiap aktivitas digital kita meninggalkan jejak. Bukan hanya jejak digital yang bisa dilacak oleh teknologi, tapi lebih penting lagi adalah jejak yang tercatat oleh malaikat Raqib dan Atik. QS. Qaf: 18 mengingatkan, “Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Bayangkan, setiap komentar pedas yang kita ketik, setiap hoaks yang forward, setiap postingan yang kita bagikan-semuanya tercatat. Dan kelak di hari pembalasan, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia perhatikan, maka ia tergelincir karenanya ke dalam neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat” (Hr. Bukhari-Muslim)
Di sisi lain, setia postingan inspiratif, setiap dakwah digital yang menyejukkan, setiap kata dukungan yang membesarkan hati orang lain-juga tercatat sebagai amal jariyah. Bayangkan jika satu postingan dakwah kita di-share ribuan kali, dibaca jutaan orang, dan menginspirasi mereka untuk berbuat kebaikan. Pahalanya terus mengalir bahkan setelah kita tiada.
Inilah makna “surga dan neraka di ujung jari. Setiap kali kita hendak mengetik, meng-klik tombol send, atau men-share sesuatu, kita sebenarnya sedang memilih: apakah ini akan menjadi amal shaleh atau dosa jariyah?
Pilihan ada di tangan Kita
Teknologi adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan atau justru keburukan. Media sosial bisa menjadi ladang pahala atau kubangan dosa. Semuanya bergantung pada bagaimana kita menggunakannya.
Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik, kita dihadapkan pada pilihan; apakah postingan saya hari ini akan menambah pundi-pundi amal shaleh atau justru catatan dosa? Apakah komentar saya akan menyejukkan atau melukai? Apakah share saya akan mencerahkan atau menyesatkan.
Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik, kita dihadapkan pada pilihan: apakah postingan saya hari ini akan menambah pundi-pundi amal shaleh atau justru catatan dosa? Apakah komentar saya akan menyejukkan atau melukai? Apakah share saya akan mencerahkan atau menyesatkan?
Ingatlah selalu sabda Rasulullah SAW, “barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Di dunia digital, diam bisa berarti tidak berkomentar, tidak men-share konten negative, atau memilih untuk unfriend/unfollow akun atau toxic
Mari kita jadikan ujung jari kita sebagai jembatan menuju surga, bukan jalan menuju neraka. Mari kita kita berkomunikasi dengan akhlak, berdakwah dengan hikmah, dan menjadikan Alquran sebagai panduan dalam setiap interaksi digital kita.
Penulis: Dr Kamridah




