Penulis: Dr Andi Markama M.Th.I
Pertanyaan Allah dalam Q.S. At-Takwir ayat 26, “Fa aina tadzhabun” (Maka ke manakah kamu akan pergi?), adalah tamparan lembut namun tajam terhadap kesadaran manusia modern. Ayat ini bukan sekadar pertanyaan retoris, melainkan peringatan moral yang menuntun manusia untuk meninjau kembali arah hidupnya. Dalam hiruk-pikuk dunia yang serba cepat dan gemerlap, manusia sering kali lupa bertanya: ke mana sebenarnya semua ini mengarah?
Dalam perspektif tafsir pendidikan, ayat tersebut mengandung nilai reflektif yang sangat mendalam. Allah seakan berperan sebagai pendidik agung, yang melalui gaya bahasa retoris-Nya mengajak manusia berpikir kritis terhadap makna hidup. Pendidikan Islam sejatinya tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan kesadaran tentang tujuan akhir kehidupan. Pertanyaan itu adalah ajakan untuk berhenti sejenak, menata arah, dan memastikan langkah manusia tidak melenceng dari jalan ilahi.
Sayangnya, realitas kehidupan manusia masa kini menunjukkan gejala sebaliknya. Cinta terhadap aksesoris dunia—harta, jabatan, popularitas—telah menenggelamkan banyak orang dalam ilusi kemewahan. Dunia yang seharusnya menjadi ladang amal, justru dijadikan tujuan akhir. Nilai-nilai spiritual terpinggirkan oleh hasrat material yang tak bertepi. Di sinilah relevansi ayat itu terasa: Allah mengoreksi realitas manusia yang telah salah arah dalam memahami makna kebahagiaan.
Dalam tafsir pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai inti dari proses pembelajaran. Pendidikan tidak boleh berhenti pada kecerdasan akal, tetapi harus menyentuh kesadaran batin. Ketika lembaga pendidikan gagal membangun orientasi spiritual, maka lahirlah generasi yang cerdas secara intelektual, namun kosong secara moral.
Pertanyaan “Saudara ingin ke mana?” dapat dijadikan metode reflektif dalam ruang-ruang pendidikan. Guru dan pendidik bisa menjadikannya sebagai ajakan bagi peserta didik untuk merenungi arah hidupnya. Pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang arah dan tujuan dari pengetahuan itu sendiri. Inilah hakikat pendidikan Islam—mengarahkan manusia agar berjalan sesuai fitrah dan nilai-nilai ilahi.
Ayat tersebut juga mengingatkan bahwa kebebasan manusia harus dibingkai oleh tanggung jawab moral. Menikmati dunia bukanlah larangan, tetapi menjadikannya pusat kehidupan adalah bentuk kelalaian. Di sinilah pendidikan berfungsi sebagai kompas moral, menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Manusia bebas menentukan jalannya, namun harus sadar bahwa semua langkah pada akhirnya akan kembali kepada Allah.
Fenomena kehilangan arah hidup yang terjadi dewasa ini menuntut hadirnya pendidikan yang bukan hanya mencetak pekerja, tetapi juga pembelajar yang sadar akan makna keberadaan. Banyak orang bekerja keras mengejar karier dan status, namun lupa menyiapkan bekal untuk perjalanan yang lebih panjang—kehidupan setelah mati. Pertanyaan Allah dalam ayat ini adalah panggilan agar manusia berhenti sejenak dan bertanya pada dirinya: sudahkah aku menuju arah yang benar?
Maka, tajuk ini ingin mengingatkan: Q.S. At-Takwir ayat 26 bukan sekadar ayat tanya, tetapi peta jalan spiritual. Ia mengajarkan arah hidup yang seimbang antara dunia dan akhirat. Pendidikan Islam harus menjadikannya fondasi nilai, agar generasi masa depan tidak tersesat dalam gemerlap dunia fana. Pertanyaan Ilahi itu tidak membutuhkan jawaban lisan—ia menuntut tindakan nyata. Dan mungkin, jawaban terbaik atas “Saudara ingin ke mana?” adalah: Kami menuju-Mu, ya Allah.***
Tentang Penulis: Dr Andi Markama M.Th.I merupakan dosen aktif (tetap) UIN Datokarama Palu




