Opini-Redenominasi: Antara Nilai, Persepsi, dan Stabilitas Ekonomi

Penulis : Dr Sofyan Bachmid

“Redenominasi bukan sekadar memotong nol, tetapi mengelola kepercayaan dan persepsi masyarakat terhadap uang. Ia menyatukan aspek moneter, psikologis, dan sosial dalam satu kebijakan yang kompleks”.

 

Pendahuluan

Redenominasi adalah istilah yang sering muncul ketika sebuah negara ingin menyederhanakan sistem keuangannya. Secara sederhana, redenominasi berarti pengurangan jumlah nol pada nominal mata uang tanpa mengubah nilai riilnya. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, tetapi daya beli tetap sama. Meski terdengar teknis, kebijakan ini sejatinya menyentuh tiga ranah besar: ekonomi, psikologi, dan politik. Pengalaman beberapa negara seperti Ghana, Argentina, Yunani, dan Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan redenominasi tidak hanya bergantung pada kesiapan ekonomi, tetapi juga pada pemahaman publik dan persepsi masyarakat terhadap uang itu sendiri.

Dimensi Ekonomi: Lebih dari Sekadar Pemangkasan Nol

Dalam konteks ekonomi, redenominasi dapat memengaruhi perilaku konsumsi, tabungan, dan investasi. Bawuah (2025) menemukan bahwa di Ghana, reformasi mata uang mengubah pola konsumsi dan tabungan masyarakat akibat perceived wealth effect — masyarakat merasa lebih kaya atau miskin karena perubahan nominal, bukan nilai riil. Fenomena ini sejalan dengan teori Ricardian Equivalence yang menjelaskan bahwa persepsi terhadap kekayaan dapat memengaruhi perilaku ekonomi individu.

Sementara itu, di Indonesia, penelitian Prabawani (2017) menunjukkan bahwa dunia usaha memandang redenominasi sebagai peluang untuk memperkuat efisiensi transaksi dan meningkatkan stabilitas harga. Dengan angka yang lebih sederhana, akuntansi dan pelaporan keuangan menjadi lebih mudah, sekaligus meningkatkan citra mata uang di mata investor. Namun, kesiapan pelaku usaha menjadi kunci penting. Tanpa pemahaman yang baik, risiko mispersepsi publik bisa menimbulkan kebingungan harga atau bahkan tekanan inflasi jangka pendek.

Dalam jangka panjang, dampak terhadap perusahaan juga bervariasi. Studi Marimuthu dan Maama (2021) menemukan bahwa di Ghana, redenominasi meningkatkan profitabilitas perusahaan tetapi tidak berpengaruh signifikan pada nilai pasar perusahaan. Sebaliknya, di Argentina, Calomiris (2007) mencatat bahwa redenominasi yang dilakukan bersamaan dengan devaluasi justru membantu perusahaan yang memiliki utang dolar besar, karena nilai tukar yang lebih stabil mendorong keberanian investasi.

Dimensi Psikologis: Uang dan Ilusi Nilai

Dampak redenominasi tidak berhenti di angka-angka ekonomi. Ia juga menyentuh sisi psikologis masyarakat — bagaimana orang memandang dan menilai uang. Dzokoto et al. (2010) menyebut fenomena ini sebagai money illusion, yakni kecenderungan seseorang menilai kekayaan dari jumlah nominal, bukan daya beli riil. Setelah redenominasi di Ghana, sebagian masyarakat merasa “lebih miskin” karena nominal uang mereka mengecil, meski daya belinya tetap sama. Akibatnya, terjadi perubahan pola konsumsi, persepsi harga, bahkan cara masyarakat menilai status sosial.

Studi lain oleh Bawuah et al. (2023) mengungkapkan bahwa bias psikologis juga memengaruhi pasar valuta asing. Setelah redenominasi, perilaku spekulatif meningkat karena pelaku pasar bereaksi bukan pada data ekonomi makro, melainkan pada persepsi perubahan nilai uang. Artinya, kebijakan moneter seperti redenominasi tidak bisa dipisahkan dari aspek psikologi massa dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Risiko dan Tantangan Implementasi

Redenominasi bukan tanpa risiko. Salah satu risiko utama adalah redenomination risk, yakni ketidaksesuaian antara aset dan kewajiban (liabilitas) selama transisi nilai mata uang. Lapavitsas (2018) menyoroti kasus Yunani, di mana risiko ini lebih tinggi di sektor publik karena banyak kontrak yang tunduk pada hukum asing. Bila konversi mata uang tidak diatur dengan cermat, maka utang publik bisa melonjak secara tiba-tiba akibat perbedaan kurs dan dasar hukum.

Kekhawatiran lain adalah hiperinflasi akibat salah persepsi publik. Di Indonesia, isu ini menjadi perdebatan hangat sejak wacana redenominasi mencuat pada 2010-an. Menurut Prabawani, Musfirowati, dan Riandhita (2018), rendahnya pemahaman masyarakat dapat memicu kepanikan, yang pada gilirannya menimbulkan self-fulfilling inflation — inflasi yang terjadi karena masyarakat mengantisipasi harga akan naik. Oleh karena itu, faktor edukasi publik dan sosialisasi kebijakan menjadi syarat mutlak bagi kesuksesan redenominasi.

Strategi Kebijakan: Menata Persepsi, Mengelola Transisi

Agar redenominasi berjalan sukses, pemerintah perlu mengintegrasikan pendekatan ekonomi dan perilaku. Bawuah (2025) menekankan perlunya kebijakan pasca-redenominasi untuk menstabilkan perilaku konsumsi dan tabungan. Misalnya, pemerintah dapat meluncurkan program literasi keuangan yang menjelaskan bahwa “uang berkurang nolnya” bukan berarti nilai berkurang. Kampanye edukasi publik harus dirancang agar menyentuh semua lapisan, dari pelajar, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat pedesaan.

Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan pekerjaan di sektor formal berhubungan langsung dengan kesiapan menghadapi redenominasi (Prabawani et al., 2018). Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pemahaman ekonomi seseorang, semakin kecil kemungkinan mereka salah menafsirkan kebijakan ini. Oleh karena itu, keterlibatan lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha menjadi elemen penting dalam proses sosialisasi.

Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan infrastruktur keuangan digital dan sistem pembayaran yang adaptif. Di era ekonomi digital, perubahan nominal uang akan lebih mudah diintegrasikan dalam sistem perbankan dan transaksi daring. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran strategis dalam memastikan transisi berjalan mulus tanpa gangguan pada sistem pembayaran elektronik.

Kesimpulan

Redenominasi bukan sekadar memotong nol, tetapi mengelola kepercayaan dan persepsi masyarakat terhadap uang. Ia menyatukan aspek moneter, psikologis, dan sosial dalam satu kebijakan yang kompleks. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa keberhasilan redenominasi bergantung pada kombinasi tiga hal: stabilitas ekonomi, kesiapan sistem keuangan, dan literasi publik yang kuat.

Indonesia memiliki peluang besar untuk melaksanakan redenominasi secara terencana, terutama jika didukung oleh kestabilan makroekonomi dan komunikasi publik yang efektif. Jika dijalankan dengan hati-hati, redenominasi dapat menjadi simbol kematangan ekonomi nasional sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap rupiah — bukan hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai simbol harga diri bangsa.***

Tentang Penulis: Dr Sofyan Bachmid merupakan ASN Dosen pada Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI), yang saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM).

Bagikan post ini