Penulis: Dr. Sagir Muhammad Amin, M.Pd.I
“PAI bukan sekadar pelajaran di kelas, melainkan investasi moral untuk memastikan bahwa generasi yang datang setelah kita tetap berdiri tegak—beriman kepada Tuhan, berilmu, dan mencintai negerinya”
Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam pola pikir dan perilaku generasi muda. Dunia kini terbuka tanpa sekat; informasi datang silih berganti, memengaruhi cara mereka berinteraksi dan memandang nilai-nilai kebangsaan. Sebagai pendidik, saya melihat fenomena ini bukan semata tantangan, tetapi juga peluang untuk meneguhkan kembali peran pendidikan agama Islam (PAI) sebagai penopang karakter bangsa.
Penelitian yang saya lakukan di Kabupaten Tojo Una-Una menunjukkan bahwa PAI memiliki peran yang sangat strategis dalam memperkuat jati diri siswa di tengah arus globalisasi. Pendidikan agama tidak hanya berkaitan dengan ritual ibadah, tetapi juga merupakan ruang pembentukan moral, sosial, dan kebangsaan. Ketika nilai-nilai agama diajarkan dengan pendekatan yang kontekstual dan berorientasi pada kehidupan, siswa tidak hanya menjadi religius, tetapi juga menjadi warga negara yang cinta tanah air, toleran, dan peduli terhadap sesama.
Dalam penelitian itu, saya menemukan bagaimana guru PAI di beberapa SMA berhasil menanamkan nilai-nilai Pancasila melalui pembelajaran agama yang kreatif. Mereka mengaitkan ajaran Islam dengan semangat persatuan, keadilan sosial, dan tanggung jawab terhadap bangsa. Cerita perjuangan pahlawan lokal yang dibingkai dengan nilai keimanan menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai bagian dari Indonesia. Ketika nilai agama dipadukan dengan konteks kebangsaan, pelajaran PAI berubah menjadi pengalaman hidup yang membekas di hati siswa.
Namun, saya juga menyadari bahwa keberhasilan ini sangat bergantung pada kompetensi guru dan dukungan sistem pendidikan. Guru yang mampu membaca konteks sosial-budaya daerah akan lebih mudah menghadirkan materi PAI yang relevan dan membumi. Sebaliknya, jika pembelajaran agama hanya menekankan hafalan teks tanpa memberi ruang refleksi, maka pesan moralnya akan menguap begitu saja. Karena itu, penguatan kapasitas guru PAI menjadi kunci untuk memastikan pendidikan agama tidak berhenti pada ranah kognitif, tetapi menyentuh dimensi afektif dan sosial siswa.
Kekhawatiran terhadap lunturnya karakter kebangsaan akibat globalisasi seharusnya dijawab dengan pendidikan agama yang progresif. Kita tidak bisa menolak arus global, tetapi kita bisa mengarahkan generasi muda agar mampu berenang di dalamnya tanpa kehilangan akar. PAI harus menjadi jangkar moral yang menjaga keseimbangan antara iman dan kebangsaan, antara keterbukaan dan kearifan lokal.
Hasil riset di Tojo Una-Una mengajarkan saya bahwa pendidikan agama Islam yang dikembangkan dengan pendekatan nilai dan kebangsaan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya beriman, tetapi juga berjiwa Indonesia. PAI dapat menjadi benteng moral yang kokoh di tengah derasnya arus budaya global, sekaligus jembatan yang menghubungkan nilai religius dengan semangat kebangsaan.
Pada akhirnya, saya meyakini bahwa masa depan bangsa ini bergantung pada keberanian kita menempatkan pendidikan agama sebagai fondasi karakter nasional. PAI bukan sekadar pelajaran di kelas, melainkan investasi moral untuk memastikan bahwa generasi yang datang setelah kita tetap berdiri tegak—beriman kepada Tuhan, berilmu, dan mencintai negerinya.***
Tentang Penulis: Dr. Sagir Muhammad Amin, M.Pd.I merupakan dosen tetap UIN Datokarama pada Fakultas Tarbiyah Ilmu Keguruan (FTIK) yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI).




