Opini – Mutiara Keilmuan Islam: Belajar dari Tiram dan Mutiara

Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan Islam, kita sering mendengar istilah integrasi ilmu atau Islamisasi ilmu. Namun, gagasan ini sering terasa terlalu abstrak bagi mahasiswa atau masyarakat umum. Karena itu, dibutuhkan pendekatan simbolik yang lebih mudah dipahami. Salah satunya adalah paradigma “Mutiara Keilmuan” yang terinspirasi dari proses biologis tiram membentuk mutiara. Ia sederhana, dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi sarat makna filosofis dan spiritual.

Inspirasi dari Tiram dan Mutiara

Secara ilmiah, mutiara terbentuk ketika benda asing—misalnya butiran pasir—masuk ke dalam tubuh tiram. Tiram tidak mampu mengeluarkan benda asing itu. Alih-alih menolaknya, tiram justru membungkusnya dengan lapisan demi lapisan nacre (induk mutiara). Setelah bertahun-tahun, lapisan ini berubah menjadi mutiara yang indah dan bernilai tinggi.

Proses ini mengajarkan bahwa gangguan dan tantangan tidak selalu merusak. Sebaliknya, jika diolah dengan sabar dan kreatif, justru melahirkan sesuatu yang berharga. Inilah pelajaran penting bagi dunia pendidikan Islam.

Makna Simbolik

Dalam paradigma Mutiara Keilmuan, setiap bagian tiram melambangkan dimensi penting dalam ilmu Islam:

  • Cangkang: Melambangkan Al-Qur’an dan Hadis sebagai pelindung utama. Seperti cangkang menjaga tiram, Al-Qur’an dan Hadis menjaga keutuhan aqidah, syariah, dan akhlak.
  • Tiram (organisme hidup): Melambangkan wahyu sebagai pusat kehidupan ilmu. Wahyu bukan sekadar teks, melainkan sumber hidup yang terus menuntun peradaban.
  • Lapisan nacre: Melambangkan akumulasi ilmu, dari aqidah, fiqh, tasawuf, hingga sains modern. Semua lapisan memberi kekuatan dan keindahan pada bangunan ilmu.
  • Mutiara: Melambangkan ilmu kebijaksanaan, yakni ilmu yang matang dan bermanfaat, mampu memberi cahaya bagi umat dan peradaban.

Relevansi Kontemporer

Dunia modern penuh dengan ‘benda asing’ yang masuk ke dalam kehidupan umat Islam: globalisasi, digitalisasi, kecerdasan buatan (AI), dan krisis moral. Seperti tiram, umat Islam tidak mungkin menolak kehadiran tantangan ini. Tetapi dengan bimbingan wahyu, semua tantangan ini bisa dibungkus, diproses, dan diubah menjadi mutiara keilmuan yang bermanfaat.

Misalnya, teknologi AI bisa dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan peluang untuk melahirkan etika digital Islami. Begitu pula krisis moral dapat dijawab dengan memperkuat pendidikan akhlak yang berbasis Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah inti dari paradigma Mutiara Keilmuan: dari tantangan lahir transformasi positif.

Penutup

Paradigma Mutiara Keilmuan yang saya maksudkan ini  untuk mengayakan paradigma bahwa ilmu bukanlah produk instan, melainkan hasil proses panjang, sabar, dan berlapis. Seperti mutiara yang lahir dari luka tiram, ilmu Islam yang sejati lahir dari interaksi kreatif antara wahyu, akal, pengalaman, dan tantangan zaman. Dari iritasi lahirlah keindahan; dari tantangan lahirlah mutiara keilmuan. Inilah pesan yang perlu diwariskan kepada generasi muda Islam, agar mereka siap menghadapi dunia modern dengan hikmah dan keteguhan iman.

 

Ringkasan Populer Oleh : Prof.Dr.H.Lukman S.Thahir, M.Ag

 

Bagikan post ini