Opini-Menjemput Cahaya di Tanah Sulawesi: Sosialisasi Prodi IAT dari Parigi hingga Banggai

Penulis: Fikri Hamdani dan Muhammad Nawir

“Setiap awal pasti ada akhirnya, tetapi tidak dengan semangat. Sebab setiap brosur yang tertinggal, setiap kata yang diucapkan, mungkin telah menyalakan api kecil dalam hati seorang santri, api yang suatu hari akan tumbuh menjadi cahaya bagi masa depan umat”

 

Perjalanan itu dimulai ketika matahari baru saja naik di langit Parigi. Udara pagi masih lembap, dan jalanan pesisir tampak lengang. Di dalam mobil, tim sosialisasi membawa banyak hal selain spanduk dan brosur. ada harapan, semangat, dan keyakinan bahwa setiap langkah akan membuka masa depan baru bagi para santri di pelosok Sulawesi Tengah.

Parigi: Langkah Awal yang Penuh Harapan

Kabupaten Parigi menjadi titik awal perjalanan. Pesantren-pesantren di sana berdiri di antara hamparan sawah dan pepohonan kelapa. Saat tim tiba, para santri sudah berkumpul di masjid pesantren yang sederhana. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika dijelaskan tentang dunia kampus dan bagaimana Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir menjadi ruang bagi anak muda untuk mengembangkan potensi dan cita-cita.

Di Parigi, suasananya terasa akrab. Para santri menunjukkan rasa ingin tahu yang besar tentang kehidupan di perguruan tinggi, tentang bagaimana kuliah bisa mengantarkan mereka pada masa depan yang lebih terbuka. Sosialisasi berjalan penuh tawa, namun meninggalkan kesan mendalam: bahwa ilmu, sejauh apa pun ditempuh, selalu berawal dari niat baik untuk memperbaiki diri dan masyarakat.

Poso: Semangat yang Tak Pernah Padam

Perjalanan berikutnya menuju Poso adalah yang cukup menantang. Mobil harus menembus jalan kecil di antara perbukitan. Namun setibanya di sana, semua lelah hilang.

Pesantren di Poso berdiri dengan kesederhanaan yang memukau. Tidak banyak fasilitas, tapi semangat para santri terasa begitu tulus. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian tentang kesempatan melanjutkan pendidikan tinggi, tentang bagaimana kuliah di IAT bukan hanya menambah ilmu agama, tetapi juga melatih kemandirian, berpikir kritis, dan berani bermimpi besar.

Di sini, tim sosialisasi merasakan sesuatu yang berbeda: suasana belajar yang apa adanya, tapi penuh makna. Ketulusan menjadi modal utama mereka. Dan mungkin, di antara kesederhanaan itulah lahir para pemimpin masa depan yang tak gentar menghadapi perubahan.

Tojo Una-Una

Dari Poso, perjalanan berlanjut ke Tojo Una-una. Jalan berliku dan cuaca yang cepat berubah tidak menyurutkan langkah. Di wilayah ini, pesantren tumbuh dengan semangat luar biasa. Para santrinya aktif, energik, dan memiliki pandangan luas tentang masa depan.

Sosialisasi berlangsung di tengah suasana yang hidup. Banyak di antara santri yang baru pertama kali mendengar bahwa jurusan agama juga bisa menjadi jalan menuju karier yang beragam: pendidik, peneliti, pembina masyarakat, hingga wirausahawan yang membawa nilai-nilai Qur’ani.

Tojo Una-una memberikan pelajaran bahwa masa depan tidak ditentukan oleh besar atau kecilnya tempat belajar, tetapi oleh besarnya semangat belajar itu.

Banggai: Harmoni dan Harapan Masa Depan

Perhentian terakhir adalah Banggai. Perjalanan panjang ditempuh dengan tubuh lelah, tetapi hati tetap bersemangat. Daerah ini menjadi penutup yang indah, pesantren-pesantrennya ramai, para santrinya bersemangat dan terbuka terhadap dunia luar.

Sosialisasi berjalan lancar. Suasana penuh keceriaan, tetapi juga reflektif. Di sini terasa jelas bahwa para santri mulai memandang pendidikan tinggi sebagai bagian dari jalan hidup mereka.

Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir tidak lagi hanya dipahami sebagai tempat belajar agama, tetapi juga sebagai wadah membangun masa depan: tempat belajar berpikir luas, berperilaku bijak, dan menyiapkan diri menjadi bagian dari generasi yang berkontribusi bagi bangsa dan agama.

Semuanya mengajarkan satu hal sederhana: bahwa menuntut ilmu adalah perjalanan panjang menuju cahaya. Dan Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir hadir sebagai salah satu lentera, menuntun generasi muda pesantren untuk tidak berhenti bermimpi, untuk berani melangkah keluar dari tembok madrasah, dan menatap masa depan.

Perjalanan sosialisasi itu akhirnya berakhir, tapi semangatnya tidak. Sebab setiap brosur yang tertinggal, setiap kata yang diucapkan, mungkin telah menyalakan api kecil dalam hati seorang santri, api yang suatu hari akan tumbuh menjadi cahaya bagi masa depan umat.

Santri Berkata: “Ternyata dunia luar pesantren tidak selalu menakutkan, ya. Ada ruang untuk kami berkembang”.

Kami Berkata: “Kami melihat sendiri, pesantren bukan tempat yang tertinggal, ia adalah taman ilmu yang sedang tumbuh menuju masa depan”.***

Bagikan post ini