Oleh: Dr. Kamridah
“Di era digital yang serba cepat ini, kita sering terjebak dalam paradoks yang menggelisahkan. Teknologi membawa kita lebih dekat secara virtual, namun menjauhkan kita secara spiritual”
Media sosial memungkinkan kita terhubung dengan ribuan orang, tetapi membuat kita kehilangan kedalaman dalam berinteraksi. Pertanyaannya: di manakah posisi akhlak dalam lanskap kehidupan modern yang terus berubah ini ?
Krisis Akhlak Yang Tersembunyi
Kemajuan zaman seharusnya membawa kita pada peradaban yang lebih beradab. Namun kenyataannya, kita menyaksikan degradasi nilai-nilai luhur yang mengkhawatirkan. Kebohongan dikemas sebagai strategi, ketamakan dilegitimasi sebagai ambisi, dan kesombongan dipuja sebagai kepercayaan diri. Batasan antara yang halal dan haram, yang baik dan buruk, semakin kabur di tengah relativisme moral yang merajalela.
Yang lebih memprihatinkan, krisis ini tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi merambah ke dalam lingkaran keluarga. Anak-anak tumbuh dengan referensi moral dari layar ponsel, bukan dari teladan orang tua atau guru. Mereka lebih mengenal influencer daripada ulama, lebih hafal lirik lagu viral daripada ayat-ayat suci.
Akidah sebagai Pondasi
Dalam perspektif Islam, akhlak tidak bisa dipisahkan dari akidah. Akhlak yang kokoh lahir dari kenyakinan yang benar. Ketika seseorang benar-benar beriman bahwa Allah Maha Melihat, ia akan malu berbuat curang meskipun tidak ada yang mengawasi. Ketika ia yakin akan hari pembalasan, ia akan berhati-hati dalam setiap ucapan dan Tindakan.
Inilah yang membedakan etika Islam dengan etika sekuler. Etika sekuler bergantung pada konsensus sosial yang bisa berubah sesuai zaman. Sedangkan akhlak Islam bersumber dari wahyu yang abadi, tidak tunduk pada tren atau tekanan mayoritas. Kebaikan tetap kebaikan, meskipun seluruh dunia menganggapnya kuno. Kejahatan tetap kejahatan, meskipun dibungkus dengan narasi yang menarik
Keteladanan yang Hilang
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Beliau adalah manifestasi sempurna dari al-Quran yang hidup. Kejujurannya membuat musuh pun menitipkan harta kepadanya. Kasih sayangnya meliputi semua makhluk, bahkan kepada mereka yang menganiayanya. Kerendahan hatinya membuat beliau tidur di atas tikar yang meninggalkan bekas di kulitnya, meskipun beliau adalah pemimpin negara.
Hari ini, kita kekurangan teladan seperti itu. Para pemimpin lebih sibuk membangun citra daripada karakter. Para orang tua lebih fokus mengejar materi daripada mendidik anak. Para pendidik lebih memetingkan kurikulum daripada pembentukan jiwa. Akibatnya, generasi muda kehilangan Kompas moral yang mereka butuhkan untuk menavigasi kehidupan yang kompleks ini.
Jalan Kembali
Mengembalikan akhlak bukan sekadar program moral atau kampaye sosial. Ia membutuhkan revolusi spiritual yang dimulai dari dalam diri masing-masing. Beberapa Langkah konkret yang bisa kita tempuh:
Pertama, mrenghidupkan Kembali kesadaran akan pengawasan Allah. Inilah konsep ihsan yang diajarkan Rasulullah: beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Kesadaran ini akan membuat kita menjaga akhlak, bukan karena takut pada manusia, tetapi karena cinta dan takut kepada Allah.
Kedua, menjadikan al-Quran sebagai rujukan hidup, bukan sekadar bacaan ritual. Setiap ayat adalah petunjuk, setiap kisah adalah pelajaran, setiap perintah adalah jalan menuju kebaikan. Kita perlu Kembali mentadabburi al-Quran, merenungkan maknanya, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Menghidupkan sunnah Nabi dalam keseharian. Bukan hanya dalam ritual ibadah, tetapi dalam cara kita berbicara, berinteraksi, berbisnis, bahkan dalam cara kita tersenyum. Setiap detail kehidupan Rasulullah adalam pelajaran akhlak yang berharga.
Keempat, membangun lingkungan yang mendukung. Akhlak tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia membutuhkan ekosistem yang sehat, di mana kebaikan dihargai dan kemungkaran dicegah. Keluarga, masjid, sekolah, dan komunitas harus bersinergi dalam membentuk karakter generasi.
Penutup
Modernitas bukan musuh akhlak. Yang menjadi musuh adalah Ketika kita membiarkan diri larut dalam arus perubahan tanpa pegangan spritual yang kuat. Islam mengajarkan kita untuk menjadi muslim yang shalih sekaligus insan yang produktif, hamba yang taat sekaligus khalifah yang bertanggung jawab.
Saatnya kita membuktikan bahwa Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang mengantarkan manusia pada kesempurnaan akhlak. Sebagaimana yang dikatakan Imam al-Ghazali, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. “Mari kita jadikan akhlak sebagai penanda identitas kita sebagai muslim, bukan hanya dalam ucapan, tetapi dalam setiap langkah kehidupan.***




