Penulis : Rafiq Badjeber, M.Pd.
“Ketika Matematika Menyentuh Kehidupan, sejatinya merupakan bagian integral dari aktivitas manusia sehari-hari—ia hidup, hadir, dan bekerja di balik hampir setiap keputusan yang kita ambil….”
Matematika sering kali dipersepsikan sebagai bidang ilmu yang kaku, penuh simbol dan rumus yang sulit didekati oleh sebagian besar orang. Dalam konteks pendidikan, tidak sedikit peserta didik yang memandang matematika sebagai momok yang menakutkan daripada sarana untuk berpikir logis. Namun, pandangan semacam ini tampaknya perlu dikaji ulang. Matematika, sebagaimana tergambar dalam gagasan “Ketika Matematika Menyentuh Kehidupan”, sejatinya merupakan bagian integral dari aktivitas manusia sehari-hari—ia hidup, hadir, dan bekerja di balik hampir setiap keputusan yang kita ambil.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terus berhadapan dengan situasi yang menuntut kemampuan berpikir matematis, meski sering kali tanpa disadari. Ketika seseorang mengatur waktu bangun agar tidak terlambat ke kampus, menghitung biaya belanja agar sesuai dengan anggaran, atau memperkirakan waktu tempuh ke tempat tujuan, sebenarnya ia sedang menerapkan prinsip-prinsip matematika. Aktivitas sederhana ini menunjukkan bahwa matematika bukan semata-mata soal angka dan rumus, tetapi cara berpikir yang mengajarkan ketepatan, efisiensi, dan pengambilan keputusan berbasis rasio.
Lebih jauh, matematika juga memainkan peran vital dalam membentuk keteraturan hidup manusia modern. Dalam era digital yang serba cepat, kemampuan mengelola waktu, memprioritaskan kegiatan, dan mengatur sumber daya secara efektif sangat bergantung pada pola berpikir matematis. Bahkan konsep sederhana seperti “perbandingan waktu dan hasil” dalam produktivitas pribadi sesungguhnya merupakan bentuk rasionalisasi matematis. Melalui cara berpikir seperti ini, individu belajar untuk menilai proporsi antara usaha dan hasil secara objektif, serta membangun kebiasaan reflektif dalam merencanakan kehidupannya.
Keterkaitan matematika dengan teknologi menjadi bukti lain bahwa disiplin ini bukanlah ilmu yang terpisah dari realitas sosial, melainkan fondasi dari berbagai inovasi yang membentuk dunia modern. Algoritma yang menopang aplikasi smartphone, sistem navigasi GPS, hingga teknologi enkripsi data adalah hasil dari penerapan konsep matematika yang kompleks. Kehadiran matematika dalam teknologi membuktikan bahwa kecanggihan peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari kemampuan memahami pola, fungsi, dan relasi antar variabel yang menjadi inti dari berpikir matematis.
Namun demikian, penting pula untuk menekankan dimensi humanistik dalam pembelajaran matematika. Sering kali pendekatan pengajaran yang terlalu formal dan mekanistik justru menjauhkan peserta didik dari makna esensial matematika itu sendiri. Matematika bukan hanya alat menghitung, tetapi juga wahana untuk melatih kesabaran, ketelitian, dan kemampuan berpikir kritis. Dengan pendekatan yang kontekstual dan reflektif, matematika dapat menjadi sarana untuk memahami diri dan dunia secara lebih mendalam. Di sinilah peran guru menjadi krusial—yakni menghidupkan matematika dalam kehidupan, bukan sekadar mengajarkannya sebagai kumpulan prosedur.
Dari perspektif sosial, matematika memiliki potensi besar dalam membangun masyarakat yang berpikir rasional dan berkeadilan. Kemampuan menghitung, memperkirakan, dan menalar data memungkinkan seseorang untuk tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu, hoaks, atau manipulasi statistik. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh data, literasi matematika menjadi bagian dari literasi kritis yang esensial bagi warga negara. Dengan demikian, memahami matematika berarti juga memahami cara berpikir yang jernih dan terukur dalam menghadapi kompleksitas kehidupan sosial-ekonomi dan teknologi masa kini.
Pada akhirnya, matematika bukan hanya tentang logika, melainkan juga tentang kehidupan itu sendiri. Ia mengajarkan manusia untuk berpikir sistematis tanpa kehilangan rasa kemanusiaannya; untuk mencari kepastian di tengah ketidakpastian; dan untuk menemukan harmoni antara abstraksi dan realitas. Melihat matematika dari perspektif yang lebih humanis membuka peluang bagi kita untuk menempatkannya sebagai ilmu yang tidak sekadar berguna, tetapi juga bermakna. Maka, sudah saatnya kita bertanya bukan “seberapa sulit matematika itu?”, melainkan “sejauh mana kita telah memaknai hidup secara matematis ?”
Tentang Penulis :
Rafiq Badjeber, M.Pd Dosen FTIK UIN Datokarama, yang saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Doktoral Pendidikan Sains Kosentrasi Matematika, Universitas Tadulako




