Anak-anak zaman sekarang tumbuh di tengah dunia yang serba digital. Sejak usia dini, mereka sudah mengenal layar, video, dan suara yang datang dari gawai di tangan mereka. Dunia maya kini menjadi ruang belajar, bermain, dan bersosialisasi. Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan risiko yang tidak kecil: anak bisa kehilangan kemampuan berinteraksi, sulit mengelola emosi, bahkan kecanduan hiburan tanpa batas.
Dalam situasi ini, peran orang tua menjadi lebih penting dari sebelumnya. Di era digital, orang tua bukan hanya pengawas, tetapi juga guru pertama yang mengajarkan cara bersikap di dunia maya. Mereka bukan sekadar penjaga waktu layar (screen time), tetapi penuntun nilai, etika, dan tanggung jawab dalam berteknologi. Seperti halnya di dunia nyata, anak-anak juga butuh bimbingan agar tidak tersesat di dunia digital.
Menjadi guru di dunia maya bukan berarti harus paham semua teknologi. Yang dibutuhkan adalah keterlibatan dan kehadiran. Orang tua perlu tahu apa yang ditonton anak, dengan siapa mereka berinteraksi, dan bagaimana mereka menafsirkan apa yang mereka lihat di layar. Menemani anak menonton video, bermain gim bersama, atau berdiskusi tentang konten yang mereka temui adalah bentuk pengajaran yang sederhana namun berpengaruh besar.
Penelitian menunjukkan, anak yang mendapatkan pendampingan digital dari orang tuanya cenderung lebih stabil secara emosi dan mampu beradaptasi sosial dengan baik. Mereka belajar bahwa internet bukan tempat untuk marah atau pamer, melainkan ruang untuk belajar dan berbagi. Sebaliknya, anak yang dibiarkan sendirian di depan layar mudah merasa kesepian, cepat bosan, dan sering mencari pelarian di dunia maya.
Pendidikan digital sejatinya bukan sekadar membuat aturan “boleh” dan “tidak boleh”. Ia tentang membangun kesadaran dan empati. Saat anak melihat orang tuanya mampu menggunakan teknologi dengan bijak—tidak selalu menatap layar saat makan bersama, tidak mudah terpancing emosi di media sosial—mereka belajar nilai-nilai penting tanpa perlu banyak kata.
Teknologi bukanlah musuh keluarga. Ia bisa menjadi sarana belajar, kreativitas, dan kedekatan, jika diiringi dengan pendampingan yang penuh kasih. Orang tua yang hadir secara emosional mampu mengubah gawai dari alat distraksi menjadi alat edukasi. Dunia digital tidak harus menjadi ancaman bagi masa depan anak, asalkan cinta dan keteladanan tetap menjadi panduannya.
Kita hidup di masa di mana anak lebih cepat mengenal layar daripada kertas, lebih luwes mengetik daripada menulis tangan. Namun satu hal tetap abadi: orang tua adalah guru pertama, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Karena dalam setiap klik dan sentuhan layar, nilai dan kasih sayang merekalah yang membentuk karakter generasi digital masa depan.
Penulis: Iksan Kahar, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Pendidikan Agama Islam UIN Datokarama Palu




