Tragedi robohnya bangunan pondok pesantren di Sidoarjo yang menelan puluhan korban jiwa beberapa waktu lalu bukan sekadar kabar duka. Ia menjadi cermin nyata lemahnya penerapan manajemen risiko di dunia pendidikan Indonesia.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa lembaga pendidikan — termasuk pesantren — tidak hanya tempat untuk menuntut ilmu, tetapi juga harus menjadi ruang yang aman bagi kehidupan.
Risiko yang Tak Dikenali
Manajemen risiko seharusnya menjadi bagian integral dari tata kelola pendidikan. Dalam konteks lembaga pendidikan, risiko tidak hanya berupa kegagalan akademik, tetapi juga mencakup ancaman terhadap keselamatan fisik peserta didik dan tenaga pendidik.
Namun kenyataannya, banyak sekolah dan pesantren tidak memiliki sistem identifikasi risiko yang memadai. Bangunan dibangun secara swadaya tanpa perhitungan teknis yang tepat, izin mendirikan bangunan (PBG) sering diabaikan, dan pengawasan pemerintah daerah masih minim.
Akibatnya, risiko yang seharusnya bisa diprediksi berubah menjadi tragedi yang menelan korban jiwa.
Manajemen risiko seharusnya membantu lembaga mengenali potensi bahaya, menilai tingkat dampaknya, serta menyiapkan langkah mitigasi dan respons cepat. Prinsip ini sederhana, tetapi jarang diterapkan di sektor pendidikan.
Budaya Keselamatan yang Rapuh
Budaya keselamatan di lembaga pendidikan masih sangat lemah. Banyak pengelola lebih fokus pada aspek akademik dan pembangunan fisik, namun abai pada aspek keamanan. Ruang kelas dibangun tanpa standar teknis, ventilasi minim, dan bahan bangunan seadanya.
Padahal, keselamatan adalah bagian dari mutu pendidikan itu sendiri. Tidak mungkin ada pembelajaran yang berkualitas jika tempatnya tidak aman.
Sebuah survei kecil di sejumlah daerah menunjukkan banyak lembaga pendidikan belum memiliki standar operasional keselamatan, tidak pernah mengadakan simulasi tanggap bencana, bahkan tidak memiliki jalur evakuasi yang jelas. Ini menunjukkan bahwa kesadaran risiko belum menjadi bagian dari kultur pendidikan nasional.
Tanggung Jawab Moral dan Spiritual
Dalam perspektif Islam, konsep manajemen risiko sangat dekat dengan prinsip hifz an-nafs (menjaga jiwa) dan maslahah (kemaslahatan). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.” (HR. Ibn Majah)
Membangun lembaga pendidikan yang aman bukan hanya urusan teknis, tetapi juga bentuk ibadah sosial. Mengabaikan keselamatan berarti melalaikan amanah untuk melindungi kehidupan.
Oleh karena itu, penerapan manajemen risiko harus dipandang bukan sebagai beban birokrasi, melainkan manifestasi nilai keislaman — bahwa menjaga keselamatan adalah bagian dari ibadah.
Peran Pemerintah dan Kampus
Pemerintah daerah dan kementerian terkait perlu memperkuat pengawasan dan memastikan setiap lembaga pendidikan memenuhi standar keselamatan bangunan. Audit struktural harus menjadi bagian dari proses izin operasional sekolah dan pesantren.
Sementara itu, perguruan tinggi, terutama program studi manajemen pendidikan, teknik sipil, dan arsitektur, memiliki peran strategis dalam pendampingan masyarakat.
Melalui kegiatan Kampus Merdeka, mahasiswa dan dosen dapat terlibat langsung dalam audit keselamatan bangunan, pelatihan mitigasi bencana, dan pembuatan peta risiko sekolah.
Sinergi antara kampus, pemerintah, dan masyarakat inilah yang dapat membangun sistem pendidikan yang aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Penutup
Tragedi pondok pesantren di Sidoarjo memberi pelajaran pahit namun berharga: bahwa keselamatan tidak boleh diletakkan di urutan terakhir.
Manajemen risiko harus menjadi bagian dari kebijakan pendidikan nasional — dari tahap perencanaan hingga operasional harian. Pendidikan sejati bukan hanya mencerdaskan akal, tetapi juga melindungi kehidupan.
Sudah saatnya setiap ruang belajar di negeri ini dibangun dengan kesadaran bahwa menjaga keselamatan adalah bagian dari mencerdaskan bangsa.***
Penulis: Jihan Abdullah, Dosen tetap pada Jurusan Manajemen Pendidikan Islam, UIN Datokarama Palu