Opini-Halal, Harta, dan Hati Nurani: Ketika Logika Pasar Bertemu Etika Keumatan

Penulis : Noval, M.M.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Tadulako

Gelombang seruan boikot terhadap produk perusahaan yang terafiliasi dengan Israel telah menciptakan disonansi kognitif yang mendalam di pasar modal syariah. Bagi investor Muslim, keputusan investasi kini tidak lagi sekadar perkara rasio keuangan dan potensi return, melainkan juga pertarungan antara logika pasar dan etika keumatan.

Perusahaan multinasional yang selama ini dikenal dengan produk bersertifikasi halal kini menghadapi sorotan baru. Muncul pertanyaan mendasar: apakah saham yang halal secara teknis tetap dapat dianggap halal secara etis apabila perusahaan tersebut memiliki afiliasi dengan pihak yang terlibat dalam ketidakadilan geopolitik?

Secara fiqih muamalah formal, suatu saham dikategorikan syariah apabila kegiatan bisnis utamanya tidak bertentangan dengan prinsip Islam dan rasio utang berbasis bunga berada di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh DSN-MUI. Inilah yang disebut sebagai halal teknis.

Namun, terbitnya Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 yang mengimbau umat Muslim untuk menghindari transaksi dengan pihak yang terafiliasi dengan Israel menandai pergeseran paradigma. Dimensi halal kini tidak lagi berhenti pada kepatuhan teknis, tetapi juga mencakup halal etis, yaitu kebebasan dari segala bentuk keterlibatan dalam kezaliman. Dengan demikian, halal menjadi simbol komitmen terhadap keadilan sosial dan moralitas global.

Dari perspektif keumatan, gerakan boikot menjadi instrumen penting dalam mengekspresikan solidaritas dan keimanan. Ia berfungsi sebagai bentuk aktivisme moral, yang memungkinkan umat Islam, termasuk para investor, untuk menerjemahkan keyakinan spiritual ke dalam tindakan ekonomi yang nyata. Logika pasar mungkin mendorong orientasi pada keuntungan, tetapi hati nurani mengingatkan bahwa harta yang dicari bukan hanya yang banyak, melainkan yang membawa keberkahan.

Dalam kerangka ini, sebagian investor Muslim rela menerima risiko penurunan return demi menghindari risiko dosa moral akibat berkontribusi, meski secara tidak langsung, pada pihak yang dianggap zalim. Fenomena ini melahirkan praktik divestasi selektif sebagai wujud komitmen etika dalam investasi.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: sejauh mana boikot ini efektif? Dari perspektif pasar modal, aksi boikot sering kali menimbulkan volatilitas harga saham dan abnormal return negatif terhadap saham-saham yang terafiliasi dengan isu kontroversial. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sinyal moral dari komunitas Muslim memiliki pengaruh signifikan terhadap dinamika pasar, setidaknya dalam jangka pendek.

Efektivitas boikot tidak semata diukur dari besaran kerugian finansial yang dialami perusahaan, tetapi juga dari keberhasilannya menciptakan tekanan reputasi yang memaksa korporasi meninjau ulang rantai pasok, kebijakan, dan afiliasi politik mereka.

Isu ini menimbulkan tantangan baru bagi regulator dan lembaga keuangan syariah. DSN-MUI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dihadapkan pada kebutuhan untuk memperbarui kriteria penyaringan saham syariah (syariah screening) dengan memasukkan aspek Sosial dan Tata Kelola (ESG) yang lebih sensitif terhadap konteks geopolitik. Kejelasan regulasi akan menjadi kunci efektivitas boikot, terutama dalam menentukan perusahaan mana yang benar-benar bermasalah secara etis, agar keputusan investasi umat tidak didasarkan pada spekulasi atau informasi yang kabur.

Pada tataran praktis, investor Muslim sangat membutuhkan transparansi dan akses informasi yang memadai mengenai rantai pasok dan jaringan afiliasi perusahaan. Minimnya data semacam ini sering kali menyulitkan pengambilan keputusan investasi yang sesuai prinsip syariah. Oleh karena itu, penguatan konsep Investasi Bertanggung Jawab Sosial Syariah (SRI Syariah) menjadi solusi strategis. Melalui pendekatan ini, modal umat dapat dialihkan secara proaktif ke perusahaan lokal dan Islami yang terbukti bersih dari kontroversi. Langkah ini tidak hanya memperkuat kemandirian ekonomi umat, tetapi juga menghindarkan dari potensi subhat (keraguan) yang dapat merusak nilai spiritual dari aktivitas ekonomi.

Pada akhirnya, bagi investor Muslim, uang bukan sekadar alat ekonomi, tetapi amanah moral dan spiritual. Konflik antara produk halal dan afiliasi politik tertentu telah memperluas horizon etika investasi syariah. Meskipun logika pasar menuntut efisiensi dan keuntungan, boikot telah membuktikan dirinya sebagai instrumen penting untuk menjaga integritas keimanan dan menegakkan prinsip keadilan. Dalam konteks ini, harta yang paling bernilai bukanlah yang memberikan return tertinggi, melainkan yang diinvestasikan dengan hati nurani yang bersih. Di sinilah letak keseimbangan sejati: ketika logika pasar akhirnya tunduk pada etika keumatan yang berakar pada ajaran Islam tentang keadilan dan keberkahan.***

Tentang Penulis : Noval, M.M. Merupakan Dosen Tetap UIN Datokarama pada Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI).

 

 

Bagikan post ini