Suatu malam di sebuah masjid tua di Palu, seorang mursyid tarekat sedang memimpin zikir Bersama puluhan jamaan. Suara tahlil dan selawat bergema di sudut-sudut mihrab yang telah berusia puluhan tahun. Namun di sudut masjid, beberapa santri muda menyalakan ponsel mereka -bukan untuk bermain game atau membuka media sosial, melainkan untuk menyiarkan langsung majlis zakir tersebut ke ribuan followers di Instagram dan Tiktok.
Pemandangan ini bukan anomali, melainkan cerminan dari transformasi besar yang sedang terjadi dalam dunia dakwah tasawuf Indonesia. Kita sedang menyaksikan perpindahan yang tak terelakkan dari ruang-ruang sakral tradisional menuju arena yang tanpa batas.
Revolusi Sunyi Yang Mengubah Segalanya
Selama berabad-abad, tasawuf disebarkan melalui metode yang sangat personal dan intim. Seorang murid harus duduk bersila dihadapan gurunya, mendengarkan hikmah yang disampaikan dari mulut ke telinga, dari hati ke hati. Majelis taklim menjadi ruang sakral di mana ilmu tidak hanya ditransfer, tetapi juga “ditularkan” melalui keberkahan spiritual sang mursyid.
Tradisi ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Ada dimensi barakah yang mengalir melalui tatap muka langsung, ada energi spiritual yang tercipta Ketika jamaah berkumpul dalam satu ruang fisik, dan ada ikatan batin yang terjalin melalui ritual Bersama. Inilah yang para sufi disebut sebagai “transmisi spiritual” yang tidak digantikan oleh apapun.
Namun pandemic Covid-19 menjadi catalyst yang mempercepat digitalisasi dakwah tasawuf. Ketika masjid-masjid ditutup dan majelis taklim diliburkan, para da’i tasawuf tidak memiliki pilihan selain beradaptasi dengan teknologi digital. Yang mengejutkan, adaptasi ini tidak hanya bertahan selama pandemic, tetapi malah berkembang pesat hingga kini.
Fenomena Ustaz Digital dan Spiritualitas Instan
Hari ini, kita menyaksikan kemunculan fenomena “ustaz digital” yang mampu menjangkau jutaan pengikut dalam sekali posting. Akun-akun Instagram seperti @ustadyusufmansur, mamahdede dan Buya Arazi dan memiliki followers hingga jutaan orang. Mereka tidak hanya menyebarkan kutipan-kutipan hikmah, tetapi juga mengadaptasi praktik-praktik tradisional ke dalam format yang mudah dicerna di media sosial.
Video-video pendek tentang wirid, panduan zikir harian, dan ceramah-ceramah spiritual kini menjadi konten viral yang ditonton jutaan kali. Hashtag, zikir, wirid, dan tasawuf trending di berbagai plaform, menciptakan komunitas virtual yang terdiri dari ribuan pencari spiritual.
Namun transformasi ini membawa paradoks yang menarik. Di satu sisi, demokratisasi akses terhadap ajaran tasawuf menjadi kenyataan. Seorang petani di pelosok Nusa Tenggara kini bisa mengikuti pengajian tasawuf dari kiai ternama di Jawa tanpa harus meninggalkan kampung halamannya. Ibu Rumah tangga di Medan bisa belajar zikir dari mursyid di Cirebon hanya dengan sekali klik.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang “spiritual instan” yang kehilangan dimensi kedalaman. Ajaran tasawuf yang tadinya membutuhkan bimbingan intensif selama bertahun-tahun, kini dikemas dalam video 60 detik atau caption Instagram 240 karakter. Apakah esensi tasawuf masih utuh dalam format yang begitu terkondensasi?
Dilema Otentisitas Di Era Algoritma
Persoalan yang lebih kompleks muncul Ketika kita berbicara tentang otentisitas ajaran. Dalam tradisi tasawuf klasik, otentitas dijamin melalui Silsila (sanad) yang tidak terputus dari guru ke murid. Seorang mursyid memiliki ijazah yang jelas dari gurunya, yang pada gilirannya memiliki ijazah dari gurunya, hingga berujung pada Rasulullah saw.
Namun di dunia digital, siapa saja bisa mengklaim diri sebagai “ahli tasawuf” atau spiritual coach”. Algoritma media sosial tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi Silsila atau kompetensi spiritual seseorang. Yang dipriortaskan adalah engagement rate, jumkah likes, dan kemampuan viral-bukan kedalaman ilmu atau keberkahan spiritual.
Akibatnya, muncul fenomena “pseudo-sufi” yang mengemas ajaran tasawuf dalam bungkus yang menarik secara visual tetapi dangkal secara substansi. Quote-quote “motivasi Islami” dengan background estetik diproduksi massal, seringkali tanpa konteks yang memadai atau pemahaman yang mendalam tentang ajaran yang dikutip.
Inovasi yang Menginspirasi
Namun tidak semua transformasi digital membawa dampak negative. Beberapa ulama dan da’i tasawuf berhasil melakukan inovasi yang brilliant dalam mengadaptasi tradisi ke ranah digital tanpa kehilangan esensinya.
Misalnya, beberapa tarekat kini mengadakan “khalwah digital” di mana para pengikut diajak untuk melakukan zikir Bersama melalui zoom pada waktu yang sama, menciptakan energi spiritual kolektif meskipun terpisah secara fisik. Ada juga aplikasi mobile yang memandu praktik wirid harian dengan fitur tracking dan reminder yang membantu konsistensi spiritual.
Podcast-podcast tasawuf berkuliats tinggi seperti “Ngaji filsafat” atau “Tasawuf talk” berhasil menghadirkan diskusi mendalam tentang spritualitas Islam dengan format yang accessible untuk generasi milenial dan Gen Z. mereka tidak menyederhanan ajaran, tetapi membuatnya lebih mudah dipahami dengan Bahasa kontemporer.
Generasi Digital dan Kerinduan Spiritual
Yang menarik, data menunjukkan bahwa generasi digital -yang sering dituduh sekuler dan materialistic-justru menunjukkan kerinduan yang besar terhadap spiritualitas. Survey yang dilakukan alvara Reseach pada 2024 menunjukkan bahwa 73% Gen Z Indonesia mengaku “sering mencari konten spiritual” di media sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa transformasi digital dakwah tasawuf bukan sekadar adaptasi teknologi, tetapi juga respon terhadap kebutuhan spiritual yang genuine dari generasi muda. Mereka tidak anti-spiritualitas, tetapi membutuhkan format penyampaian yang sesuai dengan Bahasa zaman mereka.
Generasi ini tumbuh dengan smartphone di tangan, terbiasa dengan informasi yang cepat dan visual, serta memiliki attention span yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Dakwah tasawuf yang masih menggunakan metode ceramah satu arah selama dua jam akan sulit mejangkau mereka.
Penulis: Dr. H. Saude, M. Pd