Opini-Analogi Mutiara Dalam Epistemologi Islam

Ilmu dalam Islam adalah sebuah proses transformasi, pemurnian, dan pencerahan. Biologi tiram tidak hanya menghadirkan metafora tentang alam semesta, tetapi juga menawarkan kerangka epistemologis bagi keilmuan. Proses terbentuknya mutiara menggambarkan bagaimana pengetahuan muncul melalui interaksi wahyu, akal, intuisi, dan tantangan eksternal dalam lima tahap yang saling terkait.

Tahap pertama: Partikel asing sebagai pengetahuan duniawi dan tantangan. Pembentukan mutiara diawali oleh masuknya objek eksternal ke dalam jaringan mantel tiram. Partikel-partikel asing ini melambangkan sistem pengetahuan eksternal dan tantangan sosial-kultural—sains modern, ideologi sekuler, globalisasi, dan kecerdasan buatan. Alih-alih menolaknya, epistemologi Islam mengintegrasikannya ke dalam bingkai wahyu untuk diarahkan demi kemaslahatan manusia dan tujuan ilahi.

Tahap kedua: Cangkang sebagai Al-Qur’an dan Hadis. Cangkang menyediakan struktur dan pertahanan terhadap ancaman lingkungan. Secara analogis, Al-Qur’an dan Hadis berfungsi sebagai cangkang normatif pengetahuan Islam, melindunginya dari disintegrasi dan relativisme sekaligus menetapkan batas-batas penelitian yang sah. Dalam pendidikan, keduanya menjadi fondasi kurikulum yang memastikan ilmu-ilmu alam dan sosial tumbuh dalam kerangka etika dan spiritual yang berakar pada tauhid.

Tahap ketiga: Moluska sebagai wahyu. Pada inti tiram terdapat wahyu sebagai jantung epistemologi yang hidup—dinamis dan produktif, bukan statis. Dalam penelitian, wahyu mengarahkan metodologi dan memastikan eksplorasi ilmiah tetap berlandaskan spiritualitas serta berorientasi etis.

Tahap Keempat: Lapisan nacre sebagai ilmu-ilmu Islam. Jaringan mantel mengeluarkan nacre yang melapisi benda asing dalam lapisan mikroskopis, menghasilkan ketahanan dan kilau. Lapisan ini melambangkan disiplin keilmuan Islam secara kumulatif: lapisan dasar (Aqīdah, Sharīʿah, Akhlāq), lapisan klasik (tafsir, fikih, kalam, filsafat, tasawuf), dan lapisan modern (sosiologi, psikologi, ilmu data, kecerdasan buatan). Desain kurikulum seyogianya juga berlapis—dimulai dengan iman dan etika, diperkaya oleh ilmu klasik, lalu diperluas dengan disiplin kontemporer—namun tetap terhubung secara koheren dengan wahyu.

Lapisan kelima: Mutiara sebagai hikmah [ilmu pengetahuan yang mendatangkah kemaslahatan]. Setelah bertahun-tahun, benda asing tersebut berubah menjadi mutiara yang tahan lama dan bercahaya; percepatan buatan sering kali menghasilkan mutiara yang lemah dan kurang berkilau. Dalam konteks sosial, keilmuan Islam harus menghasilkan “mutiara hikmah”—pedoman bagi ekonomi etis, pengelolaan lingkungan, etika teknologi, dan kebijakan publik—yang mampu menjawab tantangan modern sembari menjaga kedalaman spiritual.

Penulis: Prof. Dr. KH. Lukman Thahir M.Ag

Bagikan post ini