Kurikulum Cinta: Menyentuh Hati, Melampaui Ego

Kurikulum Cinta adalah undangan untuk membangun generasi utuh: cerdas secara kognitif, matang secara emosional, dan luhur secara spiritual. Praktiknya bisa diwujudkan lewat pembelajaran berbasis pengalaman, refleksi diri, dialog lintas budaya, dan keterlibatan sosial.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan teknologi, pendidikan kita menghadapi tantangan serius: defisit moral. Kekerasan berbasis agama, ujaran kebencian di media sosial, hingga fragmentasi politik adalah gejala kegagalan kurikulum konvensional yang terlalu menekankan transfer pengetahuan, namun abai menyentuh dimensi terdalam manusia: hati nurani dan kesadaran spiritual.

Untuk itu, lahirlah ide Kurikulum Cinta yang digagas Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar. Kurikulum ini berpijak pada dua pilar: heart (kebersihan hati) dan self-transcendence (transendensi diri). Keduanya menekankan pendidikan bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga kedewasaan emosional dan spiritual.

Heart: Kebersihan Hati sebagai Kompas Moral

Dalam tradisi Islam, kebersihan hati atau qalbun salim adalah fondasi moralitas. Al-Ghazali menjelaskan pentingnya membersihkan jiwa dari iri, dengki, amarah, dan riya. Hati yang bersih melahirkan empati, welas asih, dan keadilan—bukan sekadar “perbuatan baik” kosmetik yang didorong ego. Sayyid Qutb pun menegaskan: hati yang bersih adalah bekal utama manusia, di dunia maupun akhirat.

Bila hati menjadi kompas moral, maka pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tetapi tentang menumbuhkan empati dan rasa peduli. Inilah modal penting bagi bangsa plural seperti Indonesia, agar toleransi tidak sekadar slogan, melainkan sikap hidup yang nyata.

Self-Transcendence: Melampaui Ego Menuju Kesatuan

Transendensi diri berarti kemampuan melampaui batas ego sempit menuju kesadaran yang lebih luas—melihat diri sebagai bagian dari kemanusiaan universal dan ciptaan Tuhan. Psikolog Cloninger menyebutnya sebagai puncak kepribadian: individu terbuka, rendah hati, mampu menerima perbedaan, dan berorientasi pada kontribusi, bukan sekadar kepentingan pribadi.

Dalam konteks bangsa majemuk, transendensi diri mengikis sentimen primordial yang kerap memicu konflik. Dengan kesadaran ini, orang tak lagi melihat “yang berbeda” sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari satu kesatuan yang harus saling menguatkan.

Membangun Generasi Utuh

Kurikulum Cinta adalah undangan untuk membangun generasi utuh: cerdas secara kognitif, matang secara emosional, dan luhur secara spiritual. Praktiknya bisa diwujudkan lewat pembelajaran berbasis pengalaman, refleksi diri, dialog lintas budaya, dan keterlibatan sosial.

Hati yang bersih tanpa transendensi hanya melahirkan cinta yang terbatas pada kelompok sendiri. Sebaliknya, transendensi tanpa hati akan menjadi spiritualitas semu. Keduanya harus berjalan beriringan.

Di era polarisasi, Kurikulum Cinta menawarkan harapan: pendidikan yang tidak sekadar mencetak pekerja, tetapi manusia seutuhnya—al-insan al-kamil. Generasi yang mencintai sesama, menjaga kebinekaan, dan mampu hidup damai dalam keberagaman.

Penulis: Prof. Dr. H. Saepudin Mashuri, M.Pd.I

Bagikan post ini