Kemenag Minta Guru Besar Tak Hanya Berteori, Tapi Hadir Menjawab Masalah Umat

Parepare (Kemenag) – Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, mengingatkan para akademisi agar tidak terjebak pada rutinitas seremoni dan tumpukan teori belaka. Menurutnya, makna sejati dari pengukuhan seorang guru besar bukanlah pada toga dan orasi ilmiahnya, melainkan pada riset yang hidup dan menjawab kebutuhan umat.

Pesan tajam itu disampaikan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat IAIN Parepare pada momen Pengukuhan Guru Besar 2025, yang digelar di Auditorium IAIN Parepare, Sulawesi Selatan, Minggu (5/10/2025).

“Setiap pengukuhan sebenarnya yang paling substansi adalah temuan dari riset atau orasi ilmiah. Tetapi, yang ditemukan seringkali lebih banyak sisi emosionalnya. Tapi itu nggak bisa dihindari,” ujar Amien dengan nada reflektif.

Ia menegaskan, riset di perguruan tinggi Islam semestinya diarahkan untuk menjawab persoalan sosial-keagamaan yang kian kompleks, bukan sekadar memperkaya teori tanpa jejak manfaat bagi masyarakat.

Ia menyoroti adanya jarak yang kian melebar antara ajaran agama dan realitas kehidupan modern. “Banyak orang menganggap agama justru sebagai problem. Karl Marx pernah menyebut the religion is poison. Agama dianggap racun, bahkan penghalang kemajuan,” ujarnya.

Namun, tegas Dirjen, pandangan itu harus dibalik. Agama bukan penghambat, melainkan motor penggerak peradaban dan kemajuan ekonomi.

“Tidak betul agama adalah penghalang kehidupan, justru agama memberikan stimulasi untuk kemajuan. Ekonomi tak boleh terhambat oleh agama, tapi agama harus menjadi sumber energi untuk kebangkitan ekonomi,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Dirjen mengajak seluruh civitas akademika untuk lebih peka terhadap denyut sosial di sekitar mereka. Menurutnya, guru besar seharusnya menjadi problem solver, bukan sekadar thinker di menara gading.

“Saya mengajak semua guru besar baru untuk introspeksi diri: apakah gelar guru besar kita sudah cukup responsif terhadap isu-isu kemasyarakatan yang dibutuhkan umat?” tantangnya.

Amien juga menilai, pendekatan tafsir dan kajian keagamaan perlu diperluas secara kontekstual dan fungsional, agar tidak terjebak dalam pemahaman tekstual semata.

“Pendekatan yang terlalu tekstual atau terlalu sufistik sering kali menjauh dari realitas manusia,” tegasnya.

Lebih jauh, Ia menyinggung perubahan cara pandang generasi muda terhadap nilai-nilai keluarga. Fenomena seperti “marriage is crime” dan “child free”, katanya, menjadi cermin pergeseran nilai yang perlu direspons lembaga pendidikan Islam.

“Padahal menikah itu justru tujuannya untuk meneruskan keturunan. Kalau fenomena ini dibiarkan, generasi masa depan bisa menurun. Tugas kita adalah mengedukasi bahwa dalam Islam, menikah adalah sunah,” pesannya.

Menutup sambutannya, Amien kembali menegaskan bahwa gelar guru besar bukan akhir perjalanan intelektual, melainkan awal dari tanggung jawab baru — menghadirkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.

“Guru besar tidak cukup teoritik. Semua temuan harus diimplementasikan secara nyata untuk menjawab problem keumatan. Jangan sampai tulisan kita tidak punya dampak bagi masyarakat,” tutupnya.***

Sumber: Pendis Kemenag RI

Bagikan post ini