Kegiatan bertema “Intelektualisasi Santri dan Santrinisasi Masyarakat” ini dihadiri Direktur Pesantren Basnang Said, Rektor UIN Raden Fatah Prof. Muhammad Adil, jajaran pimpinan kampus, serta para pengasuh pesantren dari berbagai daerah di Sumatera Selatan.

Pesantren sebagai Fondasi Historis Bangsa
Dalam paparannya, Wamenag menegaskan bahwa pesantren memiliki peran tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Pesantren, katanya, merupakan pilar moral yang membentuk karakter kebangsaan dan menjadi energi perjuangan sejak masa pra-kemerdekaan.
“Memandang pesantren berarti memandang Indonesia. Pesantren adalah gerakan moral yang lahir dari ketidakadilan dan menjadi fondasi perjuangan hingga terbitnya proklamasi,” tegasnya.
Ia menambahkan, memperkuat pesantren hari ini berarti memperkuat akar nilai yang selama ini menopang kehidupan berbangsa.
Santri Harus Menguasai Sains, Teknologi, dan Ekonomi
Dalam konteks perkembangan global, Wamenag menekankan perlunya paradigma baru pendidikan pesantren. Intelektualisasi santri, menurutnya, bukan sekadar peningkatan kemampuan akademik, tetapi perluasan cara pandang santri terhadap ilmu pengetahuan.
“Santri tidak boleh hanya menguasai fiqh. Mereka harus belajar teknologi, ekonomi, kedokteran. Memahami agama berarti memahami ilmu pengetahuan, karena Islam selalu membuka ruang bagi pengembangan ilmu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kompetensi multidisipliner santri merupakan kunci agar pesantren tetap relevan dalam era disrupsi teknologi dan dinamika sosial yang cepat.
Dorongan Penguatan Direktorat Jenderal Pesantren
Wamenag juga mengapresiasi langkah Direktorat Pesantren dalam memperkuat rekognisi kelembagaan pesantren. Menurutnya, struktur khusus ini menjadi ruang strategis untuk memajukan peran pesantren melalui regulasi, pembinaan, dan pemberdayaan yang lebih komprehensif.
Sementara itu, Direktur Pesantren Basnang Said menegaskan bahwa perjuangan mendapatkan pengakuan formal bagi pesantren telah berlangsung sejak lama. Ia mengingatkan kembali inisiatif Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memperjuangkan kesetaraan pendidikan bagi santri melalui Paket A, B, dan C.
“Sejak program kesetaraan itu, santri mulai memperoleh akses untuk berkiprah di jabatan publik dan lembaga negara,” jelasnya.
Rektor UIN Raden Fatah Muhammad Adil, menegaskan bahwa pesantren memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan Islam. Penguatan hubungan pesantren dan perguruan tinggi, katanya, akan memperluas ruang pembinaan dan pengembangan kompetensi santri secara sistematis.
“Pesantren bukan sekadar institusi, tetapi tradisi keilmuan yang diwariskan turun-temurun dan tetap relevan hingga kini,” ujarnya.
Halaqoh ini turut menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Prof. Muhajirin dari Ponpes Prof. Muhajirin, Dr. Ubaidillah Luai dari Ponpes Sabilul Hasanah Banyuasin, serta KH. Affandi dari Ponpes Nurul Huda Sukaraja OKU Timur.
Turut hadir Kepala Kanwil Kemenag Sumatera Selatan Syafitri Irwan, para dekan dan wakil dekan, serta Direktur Pascasarjana UIN Raden Fatah.
Sumber: Menag RI




