Integrasi Keilmuan Kompetensi Akademik

Paradigma keilmuan yang dikembangkan oleh UIN Datokarama Palu mengacu pada visi-misi lembaga, yakni menggusung dan mempromosikan Islam wasathiyyah (moderat) yang berpijak pada epistemologi integrasi keilmuan, spritualitas dan kearifan lokal. Integrasi agama dengan ilmu pengetahuan dimaknai sebagai proses penggabungan dan penyesuaian di antara unsur-unsur agama maupun sains sehingga menghasilkan perpaduan dua dimensi berbeda yang kemudian memiliki keserasian. Atau dengan kata lain penggabungan agama (spritualitas) dan ilmu pengetahuan menjadi satu kesatuan yang utuh dan padu. Ada beberapa alasan mengapa intergasi keilmuan menjadi penting untuk dilakukan dalam konteks UIN Datokarama Palu, yaitu:

  1. Dikotomi keilmuan agama dan umum hanya akan mendegradasi keilmuan dalam Islam, karena dalam sejarah peradaban Islam, tidak dikenal dikotomi antara keilmuan Islam dan umum.
  2. Integrasi akan menimbulkan sikap positif dan menghargai secara proporsional ilmu yang bersifat vertikal dan horisontal. Selain itu, integrasi ilmu ini akan bisa mengikis dan menghapus sikap fobia terhadap segalasesuatu yang berasal dari sumber vertikal, atau sikap ‘mengkafirkan’ilmu, nilai dan hukum yang berasal dari sumber horisontal.
  3. Secara praktis, dikotomi keilmuan atau pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama menimbulkan keterbatasan bagi alumni universtitas Islam negeri (UIN), terutama dirasakan saat mereka masuk ke dunia kerja.

Integrasi Ilmu adalah penggabungan struktur ilmu sehingga tidak ada lagi dikotomi ilmu agama & ilmu umum. Struktur ilmu tidak memisahkan cabang ilmu agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Struktur bangunan keilmuan yang integratif adalah antara kajian yang bersumber dari ayat-ayat qauliyah dari Alquran dan hadis, dengan ayat-ayat kauniyah dari hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Untuk bisa mencapai tingkat integrasi epistemologis ilmu agama dan ilmu umum, integrasi harus dilakukan pada level integrasi ontologis, integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis.

Pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah diorganisasikan dalam berbagai disiplin akademik, hal ini yang harus diakui sebelum membangun struktur pengetahuan Islam yang merupakan bagian dari upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif antara ilmu dan agama. Struktur pengetahuan Islam dikembangkan berdasarkan empat komponen—meminjam konsep Osman Bakar yang dikenal sebagai struktur pengetahuan teoritis (the theoretical structure of science). Keempat struktur itu adalah: (1) komponen pertama berkenaan dengan subject dan object matter. Ilmu yang membangun tubuh pengetahuan dalam bentuk konsep (concept), fakta (facts, data), teori (theories), dan hukum atau kaidah ilmu (laws), serta hubungan logis yang ada padanya; (2) premis-premis dan asumsi-asumsi dasar yang menjadi dasar epistemologi ilmu; (3) metode-metode pengembangan ilmu, dan (4) tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu. Untuk membangun kerangka pengetahuan keislaman, keempat struktur pengetahuan ini perlu diformulasikan dengan mengaitkannya dengan tradisi keilmuan Islam (Islamic Sciences) seperti: teologi (theology), metafisik (metaphysics), kosmologi (cosmology), dan psikologi (psychology).

Berdasarkan kerangka di atas, formulasi integrasi ilmu, spritualitas dan kearifan lokal sebagai pilar dalam mewujudkan wawasan Islam moderat akan terus diuji-kembangkan dalam membangun paradigma keilmuan UIN Datokarama Palu ke depan. Sebagai langkah awal, paradigma integrasi keilmuan yang akan dikembangkan berpijak pada tujuh tesis epistemologik keilmuan Islam yang ditawarkan oleh Noeng Muhadjir, yaitu:

  • Tesis epistemologik utama: wahyu adalah kebenaran mutlak;
  • Tesis epistemologik I: kebenaran yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah kebenaran probabilistik;
  • Tesis epistemologik II: wujud kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual-empirik, logik, etik dan transenden, atau dalam bahasa Alquran wujud kebenaran ayah, isyarah, hudan, dan rahmah. Bukan empat variasi kebenaran, tetapi empat fase atau strata;
  • Tesis epistemologik III: model logika yang tepat dalam pembuktian kebenaran adalah logika probabilistik, karena logika manusia tidak dapat menjangkau kebenaran mutlak;
  • Tesis epistemologik IV: model pembuktian induktif probabilistik dapat digunakan dalam mengkaji hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungannya dengan alam, sepanjang tidak terkait dengan nilai (baik insaniyah maupun ilahiyah);
  • Tesis epistemologik V: model pembuktian deduktif probabilistik dapat digunakan dalam mengkaji beragam hubungan tersebut di atas, apabila terkait dengan nilai;
  • Tesis epistemologik VI: model logika reflektif probabilistik dengan pendeka- tan tematik atau maudhu’i lebih tepat digunakan untuk mengkaji dan menerima kebenaran mutlak nash.

Penempatan wahyu sebagai tesis epistemologik utama yang bersifat mut- lak suatu hal yang disepakati oleh sebagian besar ilmuwan muslim lainnya tentu dimaksudkan sebagai pondasi bagi enam tesis epistemologik lainnya, yang tingkatannya bersifat probabilistik. Tesis ini menjiwai dan menjadi karakteristik distingtif bangunan epistemologi keilmuan Islam yang membuatnya berbeda dengan epistemologi Barat sekuler. Para ilmuwan muslim klasik meyakini bahwa kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui metode ilmiah yang benar pasti akan sejalan dengan kebenaran profetik yang bersumber dari wahyu.

Paradigma keilmuan yang demikian akan menjadi pijakan filosofis dalam membangun iklim akademik dan mengembangkan kurikulum integratif pada UIN Datokarama Palu. Dibutuhkan kerja kolaboratif yang melibatkan para akademisi lintas disiplin untuk merumuskan bangunan kurikulum seperti yang diharapkan. Strategi awal yang dapat dilakukan dalam rangka integrasi keilmuan ini adalah bahwa studi-studi keislaman (Islamic studies) dalam setiap topik kajiannya harus didukung atau dikritisi dengan teori-teori yang relevan dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan atau sains modern. Sebaliknya, studi-studi sosial, humaniora dan atau sains modern harus didukung atau dikritisi dengan teori-teori atau konsep yang relevan dari studi-studi keislaman terutama pada tataran worldview-nya. Bukan sekedar memberikan justifikasi atau melabeli dengan ayat atau hadis.

Model integrasi yang dianut oleh UIN Palu pada dasarnya adalah pengadopsian dari beberapa model yang telah dikembangkan oleh beberapa PTKIN yang ada saat ini dengan beberapa modifikasi menurut tuntutan kebutuhan akademik UIN Datokarama Palu. Integrasi tersebut mencakup level filosofis, materi dan metodologi.

Ada beberapa lapisan (level) yang mengilustrasikan model integrasi di UIN Datokarama Palu. Pada lapisan pertama (lower level), pada level filosofis epistemologis, akar keilmuan bersumber pada teks-teks wahyu, yang mencakup Alquran dan Hadis (hadarat al-nass) dan ayat-ayat kauniyyah.Teks-teks wahyu menjadi sumber inspirasi pengembangan keilmuan di UIN Datokarama Palu, begitu pula dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Sulawesi Tengah.

Pada lapisan kedua (middle level), pada level materi dan metodologis, isu-isu yang berkembang dalam masyarakat yang berkisar dari masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, kesehatan, teknologi dan lain-lain, dikaji dengan menggunakan pendekatan social science, humanities and natural science, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, fenomologi, hermeneutika, dan lain-lain. Begitu sebaliknya, isu-isu tentang sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain, dapat pula dikaji dengan pendekatan islamic science. Artinya, masing-masing dapat menjadi pendekatan dan juga objek kajian sekaligus. Ada interkoneksi antara Islamic studies dan pendekatan social, natural science dan humaniora.

Pada lapisan ketiga (higher level), pada tataran axiologis, produk yang dihasilkan melalui kajian dengan pendekatan integratif-interkonektif adalah bukanlah sesuatu yang bebas-nilai, tetapi produk keilmuan yang penuh dengan muatan nilai, yaitu spiritualitas dan karakter baik (good moral). Spiritualitas Islam dan karakter baik ini menjadi ciri yang melekat dalam “Islam moderat” yang berbasis pada konsep rahmatan lil ‘alamin.