Kedai kopi (coffee shop) di Kota Palu tumbuh bak jamur di musim hujan dalam lima tahun terakhir. Tepatnya, setelah pandemi Covid-19. Kini, hampir tidak ada lagi sisi jalan utama di Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak punya kedai kopi.
Skena kedai kopi di Kota Palu mengalami pergeseran signifikan. Gaya penyajian dari hasil rebusan bubuk kopi selama berjam-jam yang khas ala kedai Harapan atau Aweng perlahan digantikan oleh sistem penyajian yang sesuai standar industri: biji kopi yang masih hijau disortir, disangrai dalam mesin bertemperatur khusus, digiling sesuai ukuran tertentu, lalu diproses dengan beragam teknik seduh.
Para alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama tidak ketinggalan dalam dinamika industri kopi di Kota Palu tadi. Bagi mereka, keahlian yang maktub di lembar ijazah seperti bukan masalah. Di zaman yang terus bergerak, bekal pengetahuan dari bangku kuliah tidak bisa terus dilihat dan diperlakukan secara kaku. Ada kapasitas intrinsik yang tertanam dari masa kuliah ke dalam alam bawah sadar, di mana pengetahuan itu menjelma menjadi kemampuan yang dapat ditransfer ke bidang kehidupan yang lain, salah satunya, ya, industri kopi.
Tiga Alumni
Rohmat Yani adalah alumni Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Ia adalah pemilik jenama kedai Sebati Kopi. Sembari mengawal kedainya yang berada di Jalan Nokilalaki, ia juga rutin mendampingi para petani kopi di Desa Dombu, Kabupaten Sigi. Pengetahuannya tentang kopi, mulai dari bibit hingga tersaji dalam bentuk minuman di meja pembeli, tidak perlu diragukan.
Seperti Rohmat, Yusuf Arif Hidayat atau Dayat tak jauh berbeda. Meski tidak sampai mendampingi petani, pengetahuan dan kemampuannya di dalam alur produksi kopi juga relatif lengkap. Pengalamannya bermula dari salah satu kedai kopi di Kota Batam hingga kerap hilir-mudik ke Lembah Napu guna memastikan pasokan biji kopi yang masih hijau dari komunitas petani setempat. Berkat pengalaman tadi, ia mantap merintis kedai dan tempat sangrai kopi di bawah bendera Rindu Rumah. Arkian, Dayat adalah alumni UIN Datokarama dari Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Nama terakhir yang juga perlu disinggung sebagai amsal di sini adalah Saleh, alumni Jurusan Ahwal Syakhsiyah (AS). Dalam kesehariannya, Saleh berperan sebagai salah seorang pemilik yang aktif mengontrol seluruh kegiatan bisnis kedai Pasar Kopi yang berada di Jalan Sungai Sausu. Bisa dibilang, Saleh paham detil perhitungan biaya yang berlaku di bisnis F&B. Singkatnya, jangan berikan instruksi tentang industri kopi kepada mereka bertiga, karena itu akan sama artinya dengan mengajari ikan berenang: tidak ada gunanya.
Transferable Skills dan T-Shaped Person
Kehadiran Rohmat, Dayat, dan Saleh di dalam skena industri kopi di Kota Palu boleh jadi mengganggu nalar orang-orang yang masih berpatokan pada pola pikir lama. Lazimnya, alumni perguruan tinggi dari jurusan tertentu dianggap harus berkerja di bidang yang segaris. Meski Charles Darwin sudah lama berkaul tentang kemampuan adaptif sebagai syarat keberlanjutan makhluk hidup, orang-orang dengan pola pikir lama kerap terjebak di dalam rumus positivisme kolot bahwa alumni PAI, misalnya, niscaya berprofesi sebagai guru.
Orang-orang dengan perspektif hidup kaku boleh jadi lupa bahwa pengetahuan dari suatu bidang yang terkesan spesialis sejatinya merangkum pengetahuan yang bersifat portabel. Sebagai contoh, mahasiswa yang berkuliah di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) tidak harus menjadi sejarawan. Pengetahuan mereka tentang prinsip heuristik dalam metode sejarah akan sangat bermanfaat pada bidang apapun yang mereka tekuni pasca kuliah. Di tengah banjir informasi akibat media sosial, kemampuan memilah sumber yang valid dan relevan adalah kecakapan yang bernilai tinggi.
Kecakapan heuristik tadi hanya satu bagian dari set pengetahuan portabel yang bisa diambil oleh generasi zilenial yang memilih Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sebagai tempat mereka kuliah. Seseorang boleh jadi mengira bahwa kuliah di UIN Datokarama Palu akan berujung pada profesi penceramah. Padahal, dalam ceramah sesungguhnya terrangkum keterampilan-keterampilan yang dapat ditransfer (transferable skills) dalam konteks public speaking.
Dunia kerja saat ini sangat menghargai manusia dengan model T (T-shaped person). Seperti bentuknya, huruf T terdiri dari dua garis: vertikal dan horizontal. Garis vertikal mewakili pengetahuan mendalam dalam satu bidang, sedangkan horizontal merepresentasikan pengetahuan serta kemampuan adaptif dalam pergaulan dan lingkungan sosial. Tidak jarang, kapasitas di garis horizontal justru lebih menentukan bagi masa depan seseorang ketimbang yang vertikal.
Tiga nama di sini merupakan perwakilan alumni UIN Datokarama Palu yang berkarya di bidang yang tidak berhubungan langsung dengan jurusan mereka ketika kuliah. Walau sekilas tampak tidak bersinggungan, keterampilan portabel yang mereka ambil dari lingkungan universitas, disadari atau tidak, memberikan pengaruh dalam profesi yang mereka pilih hari ini.




