Penulis: Dr. Jihan, M.Ag.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam lima tahun terakhir telah mengubah hampir seluruh dimensi kehidupan—termasuk pendidikan.
Mulai dari chatbot pembelajaran, sistem penilaian otomatis, hingga kelas virtual yang adaptif, semua hadir menawarkan kecepatan dan efisiensi. Namun bagi Pendidikan Agama Islam (PAI), pertanyaannya bukan sekadar bagaimana memanfaatkan teknologi, tetapi bagaimana memastikan nilai kemanusiaan (human touch) tetap menjadi pusat proses pendidikan.
AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti Guru
AI mampu membantu melakukan pekerjaan administratif: memeriksa tugas, menyusun soal, memberikan umpan balik cepat, hingga memetakan tingkat kompetensi siswa. Dalam konteks PAI, teknologi ini bisa memperkaya pembelajaran—misalnya simulasi sejarah Islam, tafsir digital, atau gamifikasi ibadah.
Namun AI tetap bergerak dalam kerangka data dan algoritma. Ia tidak dapat menggantikan fungsi guru PAI sebagai murabbi yang membina akhlak, menumbuhkan kesadaran spiritual, dan membangun teladan kehidupan.
Pendidikan Islam selalu menempatkan dimensi ruhani dan adab sebagai pusat, sesuatu yang tidak bisa “diasistensi” sepenuhnya oleh mesin.
Human Touch: Jantung Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam menekankan hubungan personal, ketulusan, dan keteladanan. Nilai-nilai seperti ihsan, rahmah, ta’dib, dan hikmah hanya dapat hidup melalui interaksi manusiawi antara guru dan siswa.
Di era digital, peran ini semakin penting. Siswa menghadapi arus informasi tanpa filter, kecanduan gawai, hingga krisis identitas. Guru PAI hadir memberikan bimbingan emosional, kontrol moral, dan sense of direction yang tidak bisa diberikan oleh sistem otomatis. Dengan kata lain, semakin canggih teknologinya, semakin dibutuhkan kehadiran guru yang memanusiakan.
Pergeseran Kompetensi Guru PAI
Tantangan terbesar bukan pada AI-nya, tetapi pada kesiapan pendidiknya. Guru PAI masa depan dituntut menguasai:
- Kompetensi digital: literasi AI, penggunaan platform pembelajaran, dan etika dunia digital.
- Kecakapan pedagogik baru: menggabungkan pembelajaran berbasis data dengan sentuhan humanis.
- Sensitivitas etika: mengajarkan adab bermedia, literasi informasi, dan nilai moral dalam ekosistem digital.
- Kemampuan mengelola teacher well-being: agar tidak kewalahan oleh tuntutan teknologi dan beban emosional.
Guru PAI harus menjadi kurator makna, bukan sekadar penyampai materi.
Risiko Jika Automasi Tidak Diimbangi Nilai
Automasi tanpa pengawasan nilai-nilai Islam berpotensi menimbulkan:
- Ketergantungan siswa pada jawaban instan.
- Hilangnya proses dialog dan refleksi spiritual.
- Bias algoritma yang bisa menyesatkan pemahaman keagamaan.
- Erosi peran guru sebagai sumber keteladanan moral.
Oleh karena itu, integrasi AI dalam PAI harus disertai prinsip maqashid al-syari’ah dan etika digital Islam.
Tiga Prinsip Integrasi AI dalam PAI:
- AI untuk memudahkan, bukan menggantikan—teknologi digunakan sebagai alat, bukan otoritas.
- Memperkuat nilai dan akhlak—setiap pemanfaatan teknologi harus memperkuat adab, bukan mereduksinya.
- Berorientasi pada kemanusiaan (human-centered Islamic education)—tujuan akhirnya adalah pembentukan karakter, bukan sekadar efisiensi.
Penutup: Masa Depan yang Kolaboratif
Pendidikan Islam tidak sedang berhadapan dengan ancaman AI, tetapi sedang bertemu peluang baru. Guru PAI tetap tak tergantikan karena mereka membawa empati, spiritualitas, keteladanan, dan kebijaksanaan—hal-hal yang tidak dapat diprogram.
Masa depan PAI adalah masa depan kolaboratif: AI bekerja sebagai asisten yang cerdas, sementara guru memegang peran utama sebagai pendidik yang memanusiakan. Ketika teknologi dan nilai bertemu dalam harmoni, pendidikan Islam akan semakin relevan dan kuat dalam membentuk generasi beradab di era digital.
Tentang Penulis
Penulis adalah Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Datokarama Palu.




