Penulis: Randyy Atma R Massi,S.H.M.H.
Dosen Peracangan Perundang-Undangan UIN Datokarama Palu.
“Hukum yang tidak berakar pada jiwa masyarakat adalah hukum yang rapuh. Dan bangsa yang hukumnya rapuh adalah bangsa yang rentan terhadap disintegrasi baik dari radikalisme yang merusak dari dalam, maupun dari ketidakpedulian yang menggerogoti dari luar.”
Indonesia hari ini tengah menghadapi ujian berat terhadap kohesi sosialnya. Kontroversi tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang ditayangkan pada 13 Oktober 2025, yang dianggap menghina Pondok Pesantren Lirboyo dan pengasuhnya KH Anwar Manshur, bukan sekadar persoalan etika jurnalistik. Insiden ini adalah cerminan dari ancaman disintegrasi yang lebih dalam: tergerusnya penghargaan terhadap kearifan lokal dan sistem nilai tradisional yang selama berabad-abad menjadi perekat bangsa.
Ketika tayangan televisi nasional menggunakan judul provokatif “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” dan menarasikan budaya hormat santri sebagai bentuk eksploitasi, kita sedang menyaksikan bentuk baru dari radikalisme: radikalisme budaya yang merendahkan sistem nilai lokal dan menggantikannya dengan perspektif yang asing, yang tidak memahami konteks sosial-budaya masyarakat.
Radikalisme Berwajah Baru
Selama ini kita sibuk mewaspadai radikalisme agama yang berbentuk kekerasan fisik dan terorisme. Namun, radikalisme yang merusak tatanan kebangsaan tidak selalu hadir dengan bom dan senjata. Ia hadir dalam bentuk yang lebih halus namun tidak kalah berbahaya: delegitimasi sistematis terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat.
Ketua GP Ansor Jatim, Musaffa Safril, dengan tepat menilai bahwa pelecehan ini bukan hanya ditujukan kepada Lirboyo, tetapi kepada seluruh pesantren dan para kiai yang selama ini menjadi penjaga moral bangsa. Inilah inti persoalannya: ketika lembaga-lembaga tradisional yang menjadi pilar stabilitas sosial diserang dan direndahkan, fondasi kebangsaan kita runtuh.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa tayangan tersebut bukan hanya menciderai prinsip jurnalisme, tetapi merupakan serangan terhadap harmoni dan ketentraman masyarakat. Pernyataan ini menggarisbawahi betapa seriusnya ancaman yang kita hadapi.
Akar Persoalan: Keterasingan terhadap Sistem Nilai Lokal
Mengapa insiden seperti ini bisa terjadi di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, di negara yang memiliki lebih dari 28.000 pesantren? Jawabannya terletak pada sistem hukum dan tata kelola media yang tidak berakar pada nilai-nilai masyarakat sendiri.
Hukum nasional Indonesia hingga hari ini masih sangat kental dengan warisan kolonial Belanda. Sistem hukum yang sentralistik dan formalistik ini seringkali gagal merespons dinamika sosial dan budaya lokal secara efektif. Bahkan setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, kurikulum hukum di fakultas-fakultas terkemuka masih merujuk pada sistem civil law Belanda, dengan minim pemahaman terhadap hukum adat dan nilai-nilai lokal.
Hasilnya? Produk hukum, termasuk regulasi penyiaran, yang tidak cukup sensitif terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Ketika pembuat konten media tidak memahami atau bahkan meremehkan sistem nilai tradisional seperti ta’dzim (penghormatan) dalam tradisi pesantren, konflik pun tidak terhindarkan.
Von Savigny dan Jiwa Bangsa yang Terlupakan
Filsuf hukum Friedrich Carl von Savigny pernah menyatakan bahwa sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari tindakan bebas seorang legislator, tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat (volksgeist). Hukum tumbuh dari kebiasaan dan berkembang melalui aktivitas hukum yang organik.
Namun, dalam praktik pembangunan hukum nasional kita, prinsip ini terlupakan. Kita terlalu sibuk mengadopsi sistem asing tanpa cukup menggali dan mengintegrasikan kearifan lokal yang telah hidup dan terbukti efektif menjaga harmoni sosial selama berabad-abad.
Padahal, para pendiri bangsa sangat memahami hal ini. Soekarno merumuskan Pancasila bukan dari langit, tetapi dari penggalian nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Inilah yang membuatnya diterima oleh semua golongan sebagai filosofi pemerintahan yang dapat disepakati bersama (general acceptance of the same philosophy of government).
Pesantren sebagai Benteng Integrasi Nasional
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Dalam konteks kebangsaan Indonesia, pesantren adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang paling kokoh dalam menjaga integrasi nasional. Selama berabad-abad, pesantren telah menjadi pusat pendidikan karakter, moderasi beragama, dan pembentukan akhlak yang menjunjung tinggi kerukunan.
Tradisi santri yang “ngesot” atau berjalan merendah di hadapan kiai, yang oleh tayangan Trans7 direndahkan, sejatinya adalah manifestasi dari nilai-nilai pendidikan karakter: kerendahan hati, penghormatan terhadap ilmu dan guru, serta kesadaran akan hirarkhi sosial yang sehat. Nilai-nilai inilah yang membuat alumni pesantren jutaan santri yang tersebar di seluruh Nusantara menjadi agen moderasi dan perdamaian di tengah masyarakat.
Antropolog Sulaiman Mamar menegaskan bahwa tidak berfungsinya nilai budaya lokal menjadi salah satu akar timbulnya konflik dalam masyarakat. Hamengkubuwono bahkan menyebutkan bahwa kekerasan massa yang sering terjadi merupakan cerminan bahwa masyarakat telah mengabaikan kebudayaannya sendiri.
Ketika lembaga seperti pesantren diserang, ketika nilai-nilai yang mereka ajarkan direndahkan di media nasional, kita sedang menghancurkan benteng pertahanan kita sendiri terhadap radikalisme dan disintegrasi.
Respon Masyarakat: Cerminan Sistem yang Gagal
Respons MUI yang meminta KPI untuk menegur Trans7 karena penyiarannya yang sangat tendensius, dan keputusan PBNU untuk menempuh jalur hukum, menunjukkan betapa masyarakat merasa sistem yang ada tidak cukup melindungi nilai-nilai mereka.
LBH Ansor menegaskan bahwa mereka mendukung kebebasan pers, namun kebebasan itu tidak boleh kebablasan dan pemberitaan harus tetap berimbang dan beretika. Pernyataan ini menggarisbawahi dilema yang kita hadapi: bagaimana menjaga kebebasan pers sambil tetap melindungi nilai-nilai kearifan lokal?
Jawabannya bukan dengan represi atau sensor yang berlebihan. Jawabannya adalah dengan membangun sistem hukum tata negara yang benar-benar berakar pada nilai-nilai masyarakat, yang menempatkan perlindungan terhadap kearifan lokal sebagai bagian integral dari konstitusi yang hidup (living constitution).
Kearifan Lokal sebagai Solusi Konstitusional
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan dihuni oleh sekitar 1.340 suku bangsa, menghadapi tantangan besar dalam menjaga integritas bangsa. Ancaman disintegrasi, baik yang bersifat separatisme, konflik horizontal, maupun radikalisme budaya seperti yang kita saksikan dalam kasus Trans7, memerlukan pendekatan yang komprehensif.
Kearifan lokal menawarkan solusi yang autentik. Di Bali, pendekatan kearifan lokal dalam penanganan masalah hukum—dengan menyelesaikan persoalan di tingkat Desa Adat terlebih dahulu—telah menunjukkan efektivitasnya. Di Kabupaten Ngada, NTT, penyelesaian sengketa tanah adat melalui pranata adat terbukti lebih memberikan rasa keadilan, cepat, sederhana, dan murah dibandingkan jalur peradilan negara.
Ketika masyarakat merasakan bahwa sistem nilai mereka dihargai, diakui, dan diintegrasikan dalam tata kelola negara, ruang bagi konflik dan disintegrasi menjadi sangat sempit.
Strategi Pengembangan Kebijakan Hukum Tata Negara
Kasus Trans7 harus menjadi momentum untuk reformasi sistem hukum tata negara kita. Beberapa langkah strategis yang perlu segera ditempuh:
Pertama, reformulasi kurikulum hukum di fakultas-fakultas hukum untuk memasukkan kajian hukum adat dan kearifan lokal secara komprehensif. Para pembuat kebijakan dan produser media harus memahami nilai-nilai kearifan lokal agar tidak menginjak-injak nilai tersebut atas nama “kebebasan berekspresi.”
Kedua, penguatan regulasi penyiaran yang sensitif terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu dilengkapi dengan pedoman yang jelas tentang perlindungan terhadap lembaga-lembaga tradisional dan sistem nilai lokal.
Ketiga, pengakuan dan penguatan lembaga-lembaga adat dan keagamaan seperti pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan karakter dan pembangunan moral bangsa. Ini bukan sekadar pengakuan simbolis, tetapi integrasi nyata dalam kebijakan nasional.
Keempat, kontekstualisasi konsep-konsep konstitusi modern dengan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga masyarakat tidak merasa asing dengan konstitusi mereka sendiri. Hak asasi manusia, misalnya, dapat dipahami melalui konsep penghormatan dan martabat yang telah lama hidup dalam tradisi pesantren.
Kelima, pelibatan aktif tokoh-tokoh kearifan lokal ulama, kiai, tetua adat dalam proses pembentukan kebijakan hukum dan tata negara, bukan hanya sebagai objek tetapi sebagai subjek aktif.
Ancaman Disintegrasi yang Nyata
Jangan salah sangka, ancaman disintegrasi dari insiden seperti kasus Trans7 adalah nyata. Ketika jutaan santri dan alumni pesantren di seluruh Indonesia merasa nilai-nilai mereka diinjak-injak, ketika mereka merasa sistem hukum tidak melindungi mereka, ruang bagi narasi-narasi ekstrem terbuka lebar.
Radikalisme agama, yang selama ini kita waspadai, justru tumbuh subur dalam kondisi seperti ini. Ketika masyarakat merasa sistem mainstream mengkhianati mereka, mereka mencari alternatif dan sayangnya, alternatif yang tersedia seringkali adalah ideologi radikal yang menawarkan “keadilan” versi mereka.
Di sinilah pentingnya pendekatan berbasis kearifan lokal. Pesantren, dengan tradisi moderasi dan kerukunannya, adalah benteng terdepan melawan radikalisme. Ketika kita melemahkan pesantren, kita sedang menghancurkan benteng itu sendiri.
Penutup: Pancasila dan Penghormatan terhadap Keberagaman Nilai
Pancasila, yang digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara, seharusnya menjadi payung yang melindungi dan merayakan keberagaman sistem nilai lokal, bukan menyeragamkannya. Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan ruang bagi keberagaman cara beragama yang damai. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengakui martabat setiap komunitas dengan sistem nilainya. Persatuan Indonesia justru kokoh karena dibangun di atas pengakuan terhadap kebhinekaan.
Kasus Trans7 adalah peringatan keras bagi kita semua. Ketika media nasional dengan mudah merendahkan pesantren, ketika konten yang meremehkan kearifan lokal bisa tayang di televisi tanpa filter etika yang memadai, kita sedang menyaksikan kegagalan sistem hukum tata negara kita dalam melindungi nilai-nilai yang menjadi perekat bangsa.
Saatnya kita kembali kepada jiwa bangsa (volksgeist) kita sendiri. Saatnya hukum tata negara kita benar-benar menjadi milik rakyat Indonesia, yang menghargai dan melindungi kearifan lokal sebagai aset strategis dalam menjaga integrasi nasional. Hanya dengan cara itulah kita dapat membangun benteng konstitusional yang kokoh melawan segala bentuk ancaman disintegrasi baik yang berbentuk terorisme fisik maupun radikalisme budaya yang merendahkan nilai-nilai luhur bangsa.
Kearifan lokal bukanlah penghalang modernitas. Ia adalah jalan menuju modernitas yang autentik, yang tidak mengkhianati jati diri bangsa. Dan dalam konteks Indonesia yang majemuk ini, penghargaan terhadap kearifan lokal adalah kunci dari persatuan dalam Kebhinekaan.***
Tentang Penulis: Randyy Atma R Massi,S.H.M.H., Aparatur Sipil Negara (ASN) dosen tetap UIN Datokarama pada Fakultas Syariah.




