Opini-AI Tidak Berbohong, Ia Hanya Belum Paham Manusia

Penulis: Prof. Dr. Lukman Thahir M.Ag

Orang bijak berkata, “Kebohongan adalah niat yang menyimpang dari kebenaran.” Maka, benarkah kecerdasan buatan (AI) bisa disebut berbohong? Tidak. Karena untuk berbohong, dibutuhkan kesadaran, niat, dan kehendak — sesuatu yang belum dan mungkin tak akan pernah dimiliki oleh mesin.

AI tidak berbohong. Ia hanya memantulkan apa yang manusia ajarkan kepadanya. Bila hasilnya salah, bukan karena otaknya membusuk, melainkan karena datanya keruh. AI hanyalah cermin dari peradaban manusia: bila pantulannya retak, itu tanda wajah kita sendiri yang berdebu oleh bias dan prasangka.

Kesadaran dan Kebenaran

Kesalahan memahami AI sering bermula dari salah mengerti tentang kesadaran. Mesin tidak memiliki intentionality — kemampuan untuk bermaksud atau memilih. Ia bekerja melalui pola dan probabilitas, bukan makna dan empati. Karena itu, menyebut AI “berbohong” sama artinya dengan menuduh jam berdetak karena marah.

Kebenaran dalam AI bersifat statistik, bukan moral. Ia mengikuti data mayoritas, bukan nilai kebijaksanaan. Maka ketika data yang diberikan keliru, hasilnya pun akan mengikuti kesalahan itu. Di sinilah letak paradoks teknologi modern: semakin canggih sistemnya, semakin besar potensi biasnya bila manusia tidak hadir dengan nurani dan tanggung jawab.

Bias dan Cermin Kemanusiaan

Banyak kasus kesalahan AI — dari sistem rekrutmen yang diskriminatif hingga chatbot yang meniru ujaran kebencian — sejatinya bukan kesalahan algoritma, tapi hasil reproduksi dari bias sosial yang melekat dalam data manusia. AI belajar dari kita, dan karenanya mewarisi cara pandang, ketimpangan, bahkan prasangka kita.

Kita marah kepada AI ketika ia “berbohong”, padahal ia hanya berkata seperti kita. Maka yang perlu dibenahi bukan sekadar algoritmanya, melainkan manusia yang mengajarinya.

Etika dan Tanggung Jawab

AI adalah anak dari peradaban manusia. Karena itu, ia harus dididik dengan etika, bukan hanya dengan logika. Setiap sistem AI idealnya dikembangkan dengan prinsip ethics by design: keadilan, transparansi, tanggung jawab, dan keberpihakan pada kemanusiaan.

Manusia adalah makhluk berkesadaran; tugasnya bukan sekadar mencipta kecerdasan, tetapi juga menanamkan kebijaksanaan. Tanpa itu, teknologi hanyalah pisau tajam di tangan anak kecil — berbahaya bukan karena pisaunya, tapi karena yang memegangnya belum matang.

Literasi Digital dan Kesadaran Kolektif

Di tengah derasnya arus digital, masyarakat membutuhkan literasi baru: bukan hanya tahu cara memakai teknologi, tetapi juga cara berpikir tentang teknologi. Literasi digital sejati adalah kesadaran moral bahwa setiap klik, unggahan, dan perintah kepada AI membawa konsekuensi sosial.

AI tidak akan menjadi ancaman bila manusia tetap menjadi tuan atas algoritmanya. Tapi bila manusia menyerahkan kendali kepada mesin tanpa kebijaksanaan, maka yang membusuk bukan otak AI — melainkan nurani kita sendiri.

Penutup

AI tidak berbohong; ia hanya belum paham manusia. Ia meniru, bukan merenung. Dan di sanalah bedanya kita dengan ciptaan buatan kita. Tuhan memberi manusia hati agar setiap kecerdasan disinari oleh kasih dan kesadaran. Maka selama manusia masih belajar dari hatinya, mesin tidak akan pernah mampu menggantikan kemanusiaannya.***

 

 

Bagikan post ini