Penulis : Dr Sofyan Bachmid
Ada istilah baru yang ramai di dunia maya: ROJALI, singkatan dari Rombongan Jarang Beli. Istilah ini muncul sebagai sindiran ringan namun tajam terhadap perilaku Generasi Z, yang gemar melihat-lihat produk, mengunjungi pameran, atau menelusuri e-commerce, tapi jarang benar-benar melakukan pembelian.
Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling toko online, mengisi keranjang dengan belasan barang, lalu menutup aplikasi tanpa menekan tombol checkout. Di pusat perbelanjaan, mereka datang berombongan, mencoba pakaian, berfoto di cermin estetik, lalu pergi begitu saja. Lucu? Iya. Tapi di balik kelucuan itu, tersembunyi gejala psikologis yang menarik: Fear of Better Option (FOBO) — ketakutan akan pilihan yang lebih baik.
Gen Z tumbuh di era di mana segalanya bisa dibandingkan. Setiap produk memiliki ribuan ulasan, puluhan promo, dan serbuan influencer yang meyakinkan bahwa “ada yang lebih bagus di luar sana”. Akibatnya, banyak anak muda merasa cemas saat harus mengambil keputusan. Mereka takut menyesal, takut salah pilih, takut menemukan sesuatu yang lebih baik setelah membeli. Maka, jalan aman yang mereka pilih adalah: tidak membeli sama sekali.
Fenomena ini membuat perilaku konsumsi bergeser. Belanja tak lagi semata urusan ekonomi, tapi juga emosional dan sosial. Bagi Gen Z, pengalaman “berinteraksi” dengan produk sudah cukup menyenangkan, meski tanpa transaksi. Window shopping di mal, menjajal parfum baru, atau sekadar menelusuri toko online bisa menjadi hiburan tersendiri. Mereka menikmati prosesnya, bukan hasilnya.
Namun di sisi lain, perilaku ROJALI ini menjadi tantangan bagi pelaku bisnis. Bagaimana cara meyakinkan generasi yang begitu kritis, penuh pertimbangan, tapi juga mudah berubah pikiran? Dulu, strategi pemasaran menekankan pada kemudahan dan promosi besar-besaran. Kini, itu tidak cukup. Gen Z hanya mau membeli jika merasa terhubung secara emosional dengan produk dan percaya pada nilai yang dibawa merek tersebut.
FOBO membuat mereka tampak konsumtif di permukaan — karena terus mencari, membandingkan, dan menginginkan. Tetapi sesungguhnya mereka lebih selektif daripada generasi sebelumnya. Mereka tidak ingin sekadar memiliki barang, tetapi ingin merasa yakin bahwa setiap keputusan pembelian sesuai dengan identitas dan nilai diri mereka.
Menariknya, FOBO bukan hanya soal belanja. Ia mencerminkan kecemasan hidup di zaman pilihan tak terbatas. Dalam pekerjaan, hubungan, bahkan gaya hidup, banyak anak muda merasa kewalahan karena terlalu banyak opsi. Dunia digital yang menjanjikan kebebasan justru membuat mereka ragu untuk menentukan arah.
ROJALI, dalam konteks ini, bukan sekadar lelucon, tapi cermin dari kegelisahan generasi modern. Mereka ingin hemat, tapi tetap relevan. Ingin bahagia, tapi takut salah langkah. Di tengah derasnya informasi dan godaan konsumsi, Gen Z mencari cara untuk tetap rasional — meski sering berujung pada “tidak jadi beli.”
Barangkali, inilah paradoks zaman sekarang: kita hidup di era di mana semua tersedia, tapi justru makin sulit memilih. ROJALI hanyalah ekspresi kecil dari ketidakpastian besar yang kita hadapi bersama.
Mungkin Gen Z tidak pelit, tidak malas, dan tidak pura-pura. Mereka hanya ingin memastikan bahwa pilihan yang diambil benar-benar sepadan dengan diri mereka, dan dalam dunia yang selalu menawarkan “yang lebih baik”, rasa ragu itu mungkin satu-satunya hal yang paling manusiawi.***
Tentang Penulis: Dr Sofyan Bachmid merupakan Dosen Tetap UIN Datokarama yang saat ini menjabat sebagai Ketua LPM dan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulteng.




