Penulis: Dr Jihan Abdullah
“Kampus adalah tempat ilmu bertumbuh, karakter dibentuk, dan nilai-nilai kemanusiaan dijaga…”
Kampus adalah tempat ilmu bertumbuh, karakter dibentuk, dan nilai-nilai kemanusiaan dijaga. Namun, di balik citra akademik yang ideal, masih ada kenyataan pahit: perempuan belum sepenuhnya aman di lingkungan kampus. Kasus pelecehan, perundungan verbal, hingga kekerasan simbolik masih sesekali terdengar—bukan karena tak ada aturan, melainkan karena masih lemahnya kesadaran bersama untuk menegakkan martabat perempuan.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 sejatinya telah memberi arah yang jelas: setiap perguruan tinggi wajib menciptakan sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS). Namun regulasi hanyalah pondasi; bangunannya tetap harus dibangun oleh komunitas akademik sendiri. Kampus tidak cukup hanya membentuk Satgas PPKS, tetapi juga perlu menanamkan literasi gender melalui kurikulum, pelatihan, dan budaya organisasi mahasiswa.
Di lingkungan perguruan tinggi Islam, nilai-nilai keadilan gender sesungguhnya berakar kuat dalam ajaran Islam. Rasulullah ﷺ mengangkat derajat perempuan dari belenggu diskriminasi. Maka, membangun ruang aman bagi perempuan bukanlah agenda Barat, melainkan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar—menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman.
Budaya “diam” seringkali menjadi sekutu kekerasan. Banyak korban memilih bungkam karena takut stigma atau tidak percaya pada mekanisme pelaporan. Di sinilah pentingnya kampus menciptakan atmosfer yang empatik: dosen yang peka, mahasiswa yang peduli, dan birokrasi yang berpihak pada keadilan.
Ruang aman bukan berarti tanpa kritik, tapi ruang di mana setiap orang dihargai dan dilindungi martabatnya.
UIN Datokarama Palu, sebagai kampus keagamaan, memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjadi pelopor kampus yang ramah gender di Indonesia Timur. Upaya preventif, penyuluhan, serta penguatan kapasitas Satgas PPKS perlu diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, kita tidak hanya mematuhi aturan, tetapi juga menjalankan misi profetik: membebaskan manusia dari segala bentuk ketidakadilan.
Pada akhirnya, ruang aman di kampus bukan hanya tentang perempuan.
Ini adalah cermin sejauh mana kampus memahami arti kemanusiaan dan keadilan. Jika kampus gagal menjamin rasa aman, maka ilmu yang diajarkan kehilangan ruhnya. Karena sejatinya, kampus yang aman adalah kampus yang memuliakan seluruh insan di dalamnya.
“Ruang aman bukan hasil aturan, tapi kesadaran bersama. Ia tumbuh dari empati dan keberanian untuk saling menjaga”.
_____________________
Tentang Penulis:
Dr Jihan Abdullah, Dosen Tetap Jurusan Manajemen Pendidikan Islam, UIN Datokarama Palu. Fokus pada kajian pendidikan Islam, manajemen pendidikan, dan isu keadilan gender dalam dunia akademik.




