Opini-Ketika Perguruan Tinggi Menjadi Lembaga Pelatihan Kerja

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi kawah candradimuka intelektual, tempat lahirnya pemikir, inovator, dan pemimpin yang mampu menjawab tantangan zaman dengan perspektif yang luas dan mendalam. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan pergeseran paradigma yang mengkhawatirkan: Perguruan Tinggi (PT) kini semakin didorong, atau bahkan secara sukarela bertransformasi, menjadi semata-mata Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Pergeseran ini, meski tampak pragmatis dan “relevan”, sesungguhnya adalah kemunduran yang mengancam fungsi hakiki dari institusi pendidikan tertinggi itu sendiri.

Argumen utama di balik transformasi ini adalah tuntutan pasar kerja. Lulusan PT didesak harus siap kerja, memiliki keterampilan teknis (hard skill) yang spesifik, dan mampu berkontribusi pada industri saat mereka melangkah keluar dari gerbang kampus. Kurikulum disesuaikan, program studi baru bermunculan, dan metrik keberhasilan kampus kerap kali diukur dari persentase penyerapan lulusan oleh dunia usaha. Tentu saja, keterkaitan antara pendidikan dan dunia kerja adalah penting, tetapi ketika keterkaitan ini menjadi satu-satunya tujuan, maka pendidikan tinggi kehilangan jiwanya.

Implikasi dari komersialisasi dan instrumentalisasi pendidikan ini sangatlah serius. Pertama, matinya Nalar Kritis dan Intelektual Murni. Fokus yang berlebihan pada “keterampilan yang dapat dijual” mengorbankan ilmu-ilmu dasar, humaniora, dan sosial yang sesungguhnya membentuk fondasi pemikiran kritis, etika, dan kesadaran sipil. Mahasiswa dididik untuk menjadi “roda penggerak” mesin ekonomi, bukan “insinyur sosial” atau “filsuf modern” yang mampu mempertanyakan, menganalisis, dan menawarkan solusi transformatif terhadap masalah-masalah struktural di masyarakat. Mereka dilatih untuk menerapkan prosedur, bukan untuk menciptakan pengetahuan atau mengubah paradigma.

Kedua, Pendidikan Menjadi Komoditas yang Cepat Kedaluwarsa. Pasar kerja bergerak sangat dinamis. Keterampilan teknis yang relevan hari ini mungkin usang dalam lima tahun ke depan. Jika PT hanya mengajarkan toolset spesifik, lulusannya akan segera membutuhkan “pelatihan ulang” begitu teknologi atau tren industri berubah. Sebaliknya, pendidikan tinggi seharusnya membekali mahasiswa dengan mindset yang kokoh—kemampuan belajar mandiri, adaptasi, analisis, dan sintesis—yang memungkinkan mereka tetap relevan di tengah disrupsi apa pun. Ini adalah keterampilan abad ke-21 yang sesungguhnya.

Ketiga, Penghilangan Peran Kampus sebagai Agen Perubahan Sosial. Perguruan tinggi adalah sanctuary (tempat perlindungan) yang ideal untuk melakukan penelitian-penelitian yang tidak populer atau yang tidak langsung menguntungkan secara ekonomi, namun esensial bagi kemajuan peradaban—mulai dari penelitian lingkungan, filsafat politik, hingga upaya pengentasan kemiskinan berbasis akar budaya. Ketika PT terikat erat pada kebutuhan korporasi, prioritas penelitiannya pun bergeser, hanya berfokus pada apa yang mendatangkan dana dan keuntungan jangka pendek. Peran PT sebagai mercusuar moral, penyeimbang kekuatan politik dan ekonomi, serta pengawal nilai-nilai kemanusiaan, perlahan-lahan tereduksi.

Kita tidak menolak pentingnya relevansi lulusan. Perguruan tinggi harus berkolaborasi dengan industri. Namun, kolaborasi tersebut harus bersifat dialogis, bukan subordinatif. PT harus berani menjadi pihak yang memimpin dan mengarahkan industri melalui inovasi fundamental dan etika yang tinggi, bukan sekadar menjadi supplier tenaga kerja sesuai pesanan.

Maka, sudah saatnya kita mengoreksi arah. Perguruan tinggi bukanlah LPK dengan label yang lebih bergengsi. Perguruan tinggi adalah institusi yang bertugas menciptakan manusia utuh—pribadi yang cerdas secara profesional, beretika, memiliki nalar kritis, dan berkesadaran sosial. Jika kita membiarkan PT tenggelam sepenuhnya dalam fungsi pelatihan kerja, kita akan kehilangan sumber daya terpenting bangsa: generasi muda yang mampu berpikir melampaui kebutuhan pragmatis dan berani bermimpi tentang peradaban yang lebih baik.

Penulis: Dr Hamka S.Ag.,M.Ag.

Bagikan post ini