Citra sebagai daerah rawan konflik dan radikalisme masih sulit lepas dari Kabupaten Poso, meski awal konflik itu kini berusia lebih dari seperempat abad. Bergaram upaya perdamaian telah dijalankan. Begitu juga, bermacam strategi sudah dipraktikkan. Salah satunya adalah pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) multikultural di sekolah umum, seperti yang dilakukan oleh guru-guru PAI di SMKN 1 Poso.
Istilah multikultural menekankan pada kesadaran tentang keberagaman. Manusia di sekeliling kita tidak seragam, melainkan berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Dalam konteks Indonesia, kesadaran multikultur merupakan suatu keharusan, mengingat negeri ini didiami oleh lebih dari 300 kelompok etnis dan suku. Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, keberadaan pemeluk agama yang lain serta para penganut kepercayaan tidak dapat dipinggirkan. Dalam keberagaman ini, multikultural mengajarkan konsep-konsep tentang kesetaraan, keadilan, serta penghargaan terhadap hak-hak bersama.
Kecocokan antara konsep multikultural dengan kenyataan Indonesia yang bhineka tunggal ika, pada kelanjutannya, mendorong konsep ini masuk ke dalam materi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah. Akibatnya, banyak penelitian dilakukan untuk melihat sejauh mana efektifitas pembelajaran PAI multikultural pada lembaga pendidikan di Tanah Air.
Sayangnya, dari sejumlah literatur yang tersedia, belum satupun yang memperhatikan bagaimana pembelajaran ini dipraktikkan pada sekolah-sekolah yang berada di kawasan rawan konflik. Padahal, nilai-nilai multikultural sudah masuk ke dalam silabus pembelajaran PAI di Poso sejak 2013. Minimnya perhatian pada kabupaten ini justru mendorong Rusli Takunas dkk. untuk menelaah dari dekat pembelajaran PAI multikultural di SMKN 1 Poso.
Penerapan tekstual dan kontekstual
Dalam artikel ilmiah mereka yang terbit pada Nazhruna: Jurnal Pendikan Islam (Scopus Q1), Takunas dkk. mengungkapkan bahwa pembelajaran PAI multikultural di SMKN 1 Poso diimplementasikan lewat dua pendekatan. Pertama, formal-tekstual. Pendekatan ini diadaptasi dari 4 kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam silabus kurikulum 2013. Adapun materi pembelajaran PAI multikultural disesuaikan dengan tingkatan kelas.
Pada level penerapannya, penyampaian materi di kelas oleh para guru dibagi ke dalam tiga babak, yakni pembukaan, penyampaian materi inti, serta bagian penutup. Tiap-tiap babak diisi dengan materi berkesinambungan yang bermuara pada penanaman nilai-nilai persatuan, tanggung jawab, dan kerjasama lewat tugas kelompok.
Kedua, implementasi dengan pendekatan informal-kontekstual, di mana pembelajaran dilakukan di luar kelas, seperti kegiatan keagamaan lintas iman yang dikhususkan pada hari Sabtu. Di momen ini, unit esktra kurikuler, aksi sosial, dan sumbangan kemanusiaan didesain sebagai media pembelajaran guna menginternalisasikan nilai-nilai dan budaya harmoni beragama.
Pada kesempatan yang sama, siswa Muslim yang merupakan minoritas mendapatkan pengalaman hidup berdampingan dengan umat Kristen dan sebaliknya. Sebagai pelengkap, dalam beberapa kesempatan, pihak sekolah juga menyelenggarakan seminar-seminar guna mensosialisasikan bahaya terorisme dan radikalisme kepada para siswa dengan melibatkan narasumber dari lembaga pemerintah, seperti BPNP dan kepolisian.
Penanaman nilai-nilai multikultural lewat pembelajaran PAI pada siswa di SMKN 1 Poso terbilang sukses. Paling kurang, kesuksesan ini terlihat dalam kemampuan siswa dalam mengendalikan diri ketika dihadapkan dengan realitas yang beragam, baik dari sisi keyakinan maupun kebudayaan.
Pembelajaran PAI multikultural lewat contoh-contoh dari kisah para nabi dalam menjaga harmoni sosial di tengah umat yang beragam turut membentuk sikap toleransi, kolaborasi, serta tanggung jawab dalam diri para siswa.
Perlu tindaklanjut
Tidak dapat dipungkiri, riset tentang penerapan dan dampak pembelajaran PAI multikultural yang dilakukan oleh Rusli Takunas dkk. terbatas pada tingkat sekolah menengah atas. Selain itu, publikasi dengan tajuk Multicultural Islamic Religious Education Learning to Built Religious Harmony ini juga masih berkutat pada konteks Kabupaten Poso.
Dengan kata lain, riset yang melibatkan sekolah pada tingkat bawah di lokasi-lokasi eks konflik lainnya di Indonesia masih diperlukan. Bagaimanapun, artikel tadi telah ikut berkontribusi dalam diskusi tentang pemeliharaan iklim perdamaian lewat integrasi nilai-nilai multikultural ke dalam pembelajaran PAI pada lembaga pendidikan di wilayah yang pernah didera oleh konflik horizontal.




