Krisis selalu datang tiba-tiba. Krisis tidak pernah berlalu; ia hanya silih berganti. Pandemi COVID-19, misalnya, sempat membuat perguruan tinggi kelabakan: kuliah berhenti, anggaran terpangkas, dan keluhan mahasiswa menumpuk. Namun, dari keterpaksaan itu justru lahir terobosan besar berupa perkuliahan daring yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem kampus. Contoh lain yang lebih dekat dengan kita adalah krisis yang dialami tim penyusun modul Studi Integrasi Ilmu. Batas penyelesaian modul sudah dekat, namun ada satu topik yang belum dapat diselesaikan, yaitu topik Model/Peta Implementasi Integrasi Ilmu di PTKIN. Rektor sebagai ketua tim berinisiatif untuk menyelesaikan topik tersebut, padahal sebelumnya ia baru saja menyelesaikan satu topik yang cukup padat dan luas kajiannya.
Rektor UIN Datokarama Palu tersebut mulai memetakan model integrasi ilmu di beberapa Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTKIN), seperti Model Integrasi UIN Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan UIN Alauddin Makassar. Di saat ia telah merampungkan pemetaan tersebut, ia tersadar, dan nalarnya seperti terpukul. “Loh, perguruan tinggi lain sudah memiliki model integrasi ilmu. Lalu, apa dan bagaimana model integrasi ilmu di kampus yang saya pimpin ini?” Alhasil, dari situlah ia mendapat ilham untuk membuat model integrasi ilmu milik UIN Datokarama Palu yang diberi nama Mutiara Keilmuan.
Inilah bukti bahwa krisis, betapapun menyakitkan, selalu menyimpan peluang. Pertanyaannya, apakah manajemen perguruan tinggi cukup sigap menangkapnya?
Krisis adalah ujian kepemimpinan sejati, semacam stress test yang menguji sejauh mana pimpinan kampus mampu berpikir jernih dan bertindak cepat di tengah ketidakpastian. Banyak perguruan tinggi memilih menunggu keadaan normal kembali; padahal, justru dalam kekacauan sering lahir inovasi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ketika pandemi melanda, dosen-dosen yang semula enggan beradaptasi dengan teknologi akhirnya dipaksa untuk menggunakan Zoom, LMS, hingga media sosial. Kini, hasil dari keterpaksaan itu menjelma menjadi sistem pembelajaran digital yang lebih fleksibel dan inklusif. Tekanan anggaran yang dialami kampus juga memaksa manajemen memilah prioritas, menata strategi efisiensi, dan merumuskan kebijakan yang lebih sehat.
Mengubah krisis menjadi kesempatan menuntut pola pikir adaptif, keberanian berkolaborasi, dan kepemimpinan yang mampu memberi inspirasi. Perguruan tinggi dituntut untuk cepat membaca situasi, berani bereksperimen, dan tanggap terhadap perubahan yang datang mendadak. Tidak ada kampus yang bisa bertahan sendirian; kerja sama lintas lembaga, baik dengan pemerintah maupun sektor swasta, menjadi kunci untuk memperluas akses sumber daya dan membuka jalan bagi inovasi kolektif. Pada saat yang sama, pemimpin kampus dituntut tidak hanya mengendalikan, tetapi juga menyalakan harapan, menjaga komunikasi, serta memberi ruang kreativitas bagi dosen maupun mahasiswa.
Sejarah membuktikan bahwa inovasi besar sering lahir dari krisis. Internet berkembang pesat setelah Perang Dingin, revolusi industri muncul dari tekanan sosial-ekonomi yang keras, dan kini perguruan tinggi pun berkesempatan menjadikan krisis sebagai momentum transformasi. Dari tekanan dapat lahir pembaruan kurikulum agar lebih relevan, transparansi tata kelola agar lebih dipercaya, serta perluasan akses pendidikan agar lebih inklusif. Krisis dengan demikian adalah undangan untuk keluar dari zona nyaman, menguji daya tahan, dan melompat lebih jauh.
Krisis tidak akan pernah absen dari kehidupan perguruan tinggi, entah berupa disrupsi teknologi, perubahan iklim, atau gejolak ekonomi global. Yang menentukan bukanlah krisis itu sendiri, melainkan bagaimana manajemen kampus meresponsnya. Dengan manajemen yang adaptif, kolaboratif, dan visioner, setiap krisis bisa berubah menjadi batu loncatan. Dari situlah lahir perguruan tinggi yang lebih tangguh, relevan, dan bermakna bagi masyarakat. Karena sejatinya, krisis bukanlah akhir jalan, melainkan kesempatan yang menyamar.
Penulis: Dr. Sofyan Bachmid