Opini : Menyelamatkan Semangat Belajar Mahasiswa di Era Game Digital

Di era digital saat ini, layar smartphone dan komputer bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sumber hiburan yang memikat, termasuk permainan game digital yang semakin menarik perhatian mahasiswa. Fenomena ini ternyata berdampak nyata pada semangat belajar mereka. Banyak dosen mencatat meningkatnya angka keterlambatan mahasiswa, bahkan turunnya motivasi belajar yang awalnya membara saat masa orientasi. Lalu, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya tidak semata soal kedisiplinan, melainkan ada persoalan sistem pendidikan yang belum mampu memahami kebutuhan psikologis dan gaya belajar generasi digital.

Data sederhana dari survei internal kampus mengungkapkan sekitar 65% mahasiswa mengaku sering begadang bermain game pada hari-hari perkuliahan, yang berkontribusi pada performa akademik menurun dan tingkat kehadiran berkurang. Ini menandakan persoalan tidak bisa hanya diselesaikan dengan penegakan aturan kehadiran semata. Sistem pembelajaran yang hanya fokus pada transfer ilmu dan evaluasi kuantitatif seperti pengukuran nilai dan kehadiran, belum cukup ramah untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa masa kini yang membutuhkan fleksibilitas dan pendekatan holistik.

Di sinilah pentingnya pendidikan ramah mahasiswa, sebuah konsep yang mengadaptasi prinsip pendidikan ramah anak seperti pedagogi fleksibel, lingkungan belajar mendukung, dan kebijakan evaluasi humanis. Pendidikan ramah mahasiswa bukan berarti menurunkan standar akademik, melainkan menghadirkan proses pembelajaran yang menghargai perbedaan gaya belajar, termasuk kebutuhan hiburan dan relaksasi yang tidak selama ini diperhitungkan dalam evaluasi.

Dalam praktiknya, evaluasi pembelajaran harus lebih dari sekadar mengukur output berupa nilai dan kehadiran. Institusi perlu mengembangkan instrumen evaluasi yang sensitif terhadap gaya hidup mahasiswa, misalnya dengan memasukkan indikator keseimbangan antara aktivitas akademik dan non-akademik, serta memonitor pola perilaku yang menjadi penghambat belajar. Dengan memanfaatkan data tersebut, lembaga pendidikan dapat merancang intervensi yang berbasis bukti, seperti program konseling, Aktivitas Service Learning yang kreatif, atau workshop manajemen waktu, bukan sekadar memberikan sanksi disipliner.

Berbagai studi dan negara maju seperti Finlandia sudah membuktikan bahwa pendidikan yang menangguhkan fokus pada ujian formal dan lebih mengutamakan pengembangan holistik mampu menghasilkan generasi yang cerdas sekaligus bahagia dan produktif. Oleh karena itu, kampus di Indonesia harus berani meninggalkan pola evaluasi yang kaku dan berorientasi angka, kemudian beralih pada sistem evaluasi yang menilai perkembangan kompetensi, keseimbangan hidup, serta kemampuan berpikir kritis.

Solusi konkret yang bisa dilakukan kampus saat ini meliputi:

  1. Melibatkan dosen dalam pelatihan pedagogi fleksibel yang adaptif terhadap karakteristik mahasiwa zaman sekarang.
  2. Mengintegrasikan evaluasi berbasis portofolio dan self-assessment yang memungkinkan mahasiswa memantau dan merefleksikan proses belajarnya sendiri.
  3. Mengembangkan kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung keseimbangan antara pembelajaran dan kebutuhan relaksasi, seperti kelompok diskusi interaktif, workshop keterampilan hidup, dan aktivitas olahraga.
  4. Memanfaatkan teknologi digital untuk menyediakan modul pembelajaran interaktif yang bisa diakses secara fleksibel, menambah faktor motivasi intrisik mahasiswa.
  5. Membentuk unit konseling dan pendampingan kelembagaan yang fokus pada permasalahan kecanduan game dan manajemen stres.

Kini saatnya kita bertanya, apakah pendidikan hanya mencetak mahasiswa patuh angka dan aturan, atau individu yang mampu mengelola waktu, berpikir kritis, dan siap menghadapi tantangan global? Pendidikan yang ramah, inklusif, dan evaluatif bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan mutlak untuk membangun sumber daya manusia unggul, kreatif, dan berdaya saing tinggi.

Mari wujudkan suasana belajar yang membuat mahasiswa datang ke kelas bukan karena takut terlambat, tetapi karena antusias memulai proses pembelajaran yang menyenangkan, seimbang, dan bermakna. Evaluasi yang peka pada gaya hidup dan kebutuhan psikologis mereka adalah kunci membangun masa depan bangsa yang gemilang.***

Penulis: Dr. Erniati, S. Pd.I., M. Pd.I

Bagikan post ini