Saat Nalar Masyarakat Menjadi Cermin Agama

Guru Besar sekaligus Pakar Pemikiran Islam Modern Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Profesor Zainal Abidin, M.Ag menilai masyarakat harus mengatur dan mengendalikan agama sehingga nalar agama bergantung pada nalar masyarakat. Menurutnya, Agama dan masyarakat memiliki hubungan simbiosis mutualisme.

Pernyataan mantan Rektor IAIN Palu ini telah disebarkan dalam quotes Prof Zainal. Kalimat yang dilontarkan Profesor Zainal Abidin mengandung makna yang kritis tentang memahami agama tidak lepas dari pengaruhi sudut pandang masyarakat.

Secara sederhana, agama tidak hadir di ruang hampa. Agama selalu berinteraksi dengan lingkungan sosial, budaya, dan sejarah tempatnya berkembang.

Oleh karena itu, cara sebuah masyarakat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman kolektif mereka.

Jika sebuah masyarakat hidup dalam nalar yang penuh konflik, penindasan, atau kekerasan, maka narasi keagamaan yang dominan cenderung berpusat pada permusuhan dan kebencian hingga menimbulkan pemahaman yang radikal.

Dalam situasi seperti ini, ayat-ayat atau ajaran agama yang bersifat keras dan dogmatis atau absolut kedalam bisa jadi lebih sering dikutip atau ditekankan, sementara aspek-aspek kasih sayang cinta dan perdamaian diabaikan.

Akibatnya, agama diinterpretasikan sebagai ajaran yang radikal dan penuh kebencian, yang seolah-olah membenarkan kekerasan yang mereka alami atau lakukan.

Sebaliknya, jika suatu masyarakat terbentuk dengan nalar yang harmonis, inklusif, dan damai, maka interpretasi agama akan mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan toleransi.

Dalam kondisi ini, ajaran agama yang menekankan pentingnya menolong sesama, berempati, dan membangun persaudaraan akan menjadi sorotan utama.

Masyarakat tersebut akan melihat agama sebagai sumber inspirasi untuk berbuat kebaikan, bukan sebagai alat untuk memecah belah atau membenci.

Mereka tidak akan menafsirkan teks suci secara harfiah tanpa mempertimbangkan konteks, melainkan akan menggunakan nalar positif dan moderat untuk menemukan makna yang konstruktif dan penuh cinta.

Hubungan antara agama dan masyarakat bukanlah satu arah. Ada hubungan simbiosis mutualisme, di mana keduanya saling memengaruhi dan membutuhkan.

Masyarakat membutuhkan agama sebagai panduan moral, sumber etika, dan landasan spiritual untuk membangun peradaban yang beradab.

Agama memberikan nilai-nilai luhur yang menuntun masyarakat agar tidak kehilangan arah dalam menjalani kehidupan.

Di sisi lain, agama membutuhkan masyarakat untuk terus hidup, berkembang, dan relevan.

Tanpa adanya masyarakat yang mengamalkan ajarannya, agama akan kehilangan makna dan fungsinya. Masyarakatlah yang memberikan “wajah” kepada agama, baik itu wajah yang ramah dan penuh kasih, atau wajah yang keras dan radikal, sesuai dengan cara mereka menginterpretasikan ajarannya.

Dengan demikian, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan nalar mereka agar selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip positif dan moderat.

Ini akan memastikan bahwa agama yang hadir di tengah-tengah mereka adalah agama yang menebarkan kebaikan, cinta, dan perdamaian, bukan sebaliknya.***

Penulis: Profesor KH Zainal Abidin M.Ag

Bagikan post ini