Pak dan Bu Guru yang saya hormati,
Izinkan saya menulis surat dari generasi yang tumbuh di zaman berbeda. Zaman ketika Google, YouTube, dan kecerdasan buatan hadir di genggaman, menjawab pertanyaan dalam hitungan detik.
Bayangkan suasana kelas fikih mawaris. Pak Guru masih menulis diagram di papan tulis, spidol warna-warni bergerak pelan. Sementara itu, seorang siswa di bangku belakang sudah membuka ponsel, mendownload diagram yang lebih rapi, menonton video tutorial, bahkan menemukan soal dan jawabannya hanya dalam lima menit. Ironis, tapi itulah realitas hari ini.
Ensiklopedia di Saku
Dulu guru adalah ensiklopedia berjalan. Kini, ensiklopedia ada di saku semua orang. Pertanyaannya bukan lagi apakah guru masih relevan, tetapi bagaimana guru tetap relevan.
Masalah siswa bukan kekurangan informasi, melainkan kebanjiran informasi. Google bisa menyajikan jutaan artikel, tapi tidak bisa mengajarkan cara membedakan riset akademik dari blog konspirasi. YouTube penuh tutorial, tapi tidak membantu memilih mana yang sesuai kebutuhan.
Di sinilah peran guru: bukan sekadar penyampai materi, melainkan pemandu hutan informasi. Guru adalah “ahli gizi” yang menyeleksi informasi mana yang sehat, bergizi, dan bermanfaat.
Dari Monolog ke Dialog
Peran guru juga bergeser. Otoritas bukan lagi pada siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang bisa membimbing proses pencarian pengetahuan. Maka guru perlu bertransformasi:
- Dari “Dengarkan saya” menjadi “Apa pendapat kalian?”
- Dari “Ini jawabannya” menjadi “Bagaimana kalian sampai pada kesimpulan itu?”
- Dari “Hafalkan” menjadi “Mari gunakan untuk memecahkan masalah nyata.”
Seorang guru sejarah misalnya, tak lagi ceramah panjang soal Perang Dunia II, melainkan memberi proyek riset, membimbing evaluasi sumber, dan memfasilitasi diskusi kritis. Kelas menjadi ruang dialog, bukan sekadar monolog.
Lebih dari Sekadar Google
Benar, semua orang bisa Google. Tapi tidak semua bisa belajar efektif sendirian. Tidak semua bisa mengasah empati, kolaborasi, dan ketangguhan lewat layar. Google tidak bisa mengajarkan kepedulian, YouTube tidak bisa melatih kerja tim, artikel daring tidak bisa mengajarkan resiliensi menghadapi kegagalan. Semua itu hanya lahir dari interaksi nyata dengan guru.
Sekolah bukan sekadar tempat menimba pengetahuan, tetapi laboratorium sosial dan ruang pembentukan karakter. Peran guru di sini tidak akan pernah tergantikan teknologi apa pun.
Evolusi, Bukan Ancaman
Maka, surat ini bukan ancaman, melainkan undangan untuk evolusi. Siswa tidak butuh guru yang sekadar mengulang isi buku teks. Mereka butuh guru yang menginspirasi, membimbing, dan belajar bersama.
Kami tidak butuh guru menjadi Google kedua. Kami butuh guru yang mengajarkan hal-hal yang Google takkan pernah bisa ajarkan: berpikir kritis, menumbuhkan cinta pada ilmu, membentuk karakter, dan menuntun menghadapi masa depan dengan keberanian.
Hormat kami,
Dari generasi yang belajar dengan cara berbeda, untuk menghadapi zaman yang berbeda.
OBE
Penulis : Doktor H Askar