Setelah pada tulisan pertama dibahas urgensi big data dan tantangan awal penerapannya di kampus, kini pembahasan berlanjut pada persoalan yang lebih kompleks. Artikel kedua ini menyoroti hambatan lanjutan yang sering membuat perguruan tinggi tersendat dalam mengelola data besar, sekaligus menawarkan refleksi tentang perlunya perubahan mendasar agar tidak ketinggalan dalam persaingan global.
Pernahkah kita membayangkan bagaimana wajah perguruan tinggi jika benar-benar mengelola big data? Mahasiswa berisiko putus kuliah bisa terdeteksi sejak dini. Rekrutmen mahasiswa baru bisa lebih tepat sasaran. Bahkan mutu pembelajaran bisa ditingkatkan lewat analisis pola belajar setiap individu. Sayangnya, semua itu masih sebatas wacana di banyak kampus.
Mengapa demikian? Jawabannya, penerapan big data di perguruan tinggi masih terbentur banyak tantangan serius.
Pertama sumber daya manusia yang terbatas. Salah satu masalah klasik adalah kekurangan tenaga ahli. Kampus sering kesulitan merekrut programmer, data manager, atau analis sistem karena keterbatasan anggaran. Kalaupun ada, banyak staf yang sudah nyaman dengan cara lama sehingga menolak beradaptasi. Padahal, investasi pada sumber daya manusia adalah syarat mutlak agar big data bisa dikelola dengan baik.
Kedua, budaya organisasi yang belum siap. Budaya kerja lama juga menjadi tembok besar. Banyak kampus masih enggan meninggalkan sistem manual, dari pelaporan dosen hingga pengelolaan nilai mahasiswa. Pola pikir konservatif ini membuat teknologi baru sulit diterima. Padahal, tanpa perubahan budaya organisasi, big data hanya akan menjadi jargon.
Ketiga, manajemen perubahan yang lamban. Perguruan tinggi kita sering gagap dalam merespons perubahan. Divisi IT bekerja dengan pola lama, strategi marketing mahasiswa masih konvensional, dan struktur organisasi jarang diperbarui. Akibatnya, kampus tertinggal dalam memanfaatkan banjir data yang kian masif.
Keempat, masalah keamanan dan privasi. Big data memang diposisikan sebagai peluang sekaligus ancaman. Perguruan tinggi menyimpan data sensitif: catatan akademik, keuangan, hingga penelitian. Tanpa sistem keamanan yang kuat, data ini rawan diretas atau disalahgunakan. Dalam konteks perguruan tinggi Islam, isu ini semakin penting karena menyangkut amanah dan etika menjaga kerahasiaan individu.
Kelima, lemahnya integrasi dan kerja sama. Banyak kampus memiliki data terpisah-pisah: akademik, keuangan, dan kepegawaian berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, analisis sulit dilakukan karena data tidak terintegrasi. Selain itu, kerja sama antarperguruan tinggi juga minim, padahal berbagi data dan sumber daya adalah strategi yang bisa mempercepat adaptasi.
Alhasil, jika perguruan tinggi terus abai, mereka akan kalah bersaing dengan universitas lain—baik dalam menarik mahasiswa, meningkatkan mutu pendidikan, maupun memperkuat reputasi global. Dunia bisnis sudah membuktikan bahwa data adalah bahan bakar utama inovasi. Kampus seharusnya tidak boleh tertinggal.
Saatnya perguruan tinggi berani berbenah: melatih SDM, mengubah budaya organisasi, memperkuat keamanan data, mengintegrasikan sistem, serta menjalin kerja sama lintas lembaga. Semua itu tidak bisa ditunda.
Big data bukan sekadar tren teknologi, melainkan arah masa depan pendidikan. Jika kita ragu melangkah hari ini, besok kita akan menyesal karena kehilangan momentum.
Oleh: Prof. Nurdin, S.Pd.,S.Sos.,M.Com.,Ph.D