Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan tentang penerapan big data di perguruan tinggi semakin mengemuka. Tulisan akademik yang awalnya disusun secara serius tentang tantangan tersebut kemudian diramu ulang menjadi dua opini lepas dengan gaya populer. Artikel pertama menyoroti peluang sekaligus tantangan awal penerapan big data di kampus, sedangkan artikel kedua mengupas lebih jauh hambatan lanjutan dan pentingnya perubahan mendasar agar perguruan tinggi tidak tertinggal di era digital.
Bayangkan setiap hari ribuan data dihasilkan di perguruan tinggi: mulai dari hasil penelitian dosen, publikasi, catatan kehadiran mahasiswa, hingga aktivitas di media sosial resmi kampus. Semua itu mengalir deras, bagaikan tambang emas digital yang siap digali. Namun sayang, sebagian besar data tersebut dibiarkan tercecer begitu saja.
Dalam dunia bisnis, big data sudah lama diperlakukan sebagai aset paling berharga. Perusahaan raksasa menggunakannya untuk membaca pasar, memahami pelanggan, bahkan mencegah penipuan. Perguruan tinggi pun sebenarnya bisa menempuh jalan serupa: memanfaatkan big data untuk meningkatkan mutu pembelajaran, memperkuat layanan mahasiswa, hingga merancang strategi akademik berbasis prediksi. Tapi faktanya, hanya segelintir kampus yang sungguh-sungguh menempuh jalur ini.
Pertanyaannya, mengapa big data masih menjadi “hiasan” belaka di dunia pendidikan tinggi kita? Jawabannya sederhana: ada sederet tantangan yang menghambat langkah kampus untuk bergerak lebih cepat.
Pertama, dukungan manajemen yang masih lemah.
Penerapan big data bukan sekadar soal teknologi. Ia pertama-tama adalah soal kemauan manajemen. Tanpa keberanian pimpinan universitas untuk menerbitkan kebijakan, data akan terus berserakan dan tak pernah menjadi pengetahuan berharga. Padahal, data sederhana seperti tren pendaftaran mahasiswa atau jejak digital alumni bisa menjadi dasar keputusan besar. Dukungan manajemen adalah pintu masuk yang menentukan apakah big data akan lahir sebagai kekuatan, atau sekadar slogan kosong.
Kedua, infrastruktur teknologi yang tertinggal.
Banyak perguruan tinggi masih menyimpan data secara manual atau bergantung pada server usang yang rentan rusak. Belum banyak yang benar-benar beralih ke teknologi penyimpanan awan (cloud) yang lebih aman dan efisien. Padahal, tanpa fondasi teknologi yang kuat, mustahil data bisa dikelola dengan baik.
Penyimpanan awan dan server modern bukan sekadar gaya hidup digital. Ia adalah kebutuhan mendesak agar data yang dihasilkan tidak hilang percuma. Tanpa infrastruktur, kampus kita akan terus tertinggal, sementara universitas lain di dunia sudah melangkah jauh dengan analitik data yang canggih.
Merujuk pada dua point di atas, kampus perlu menyadari bahwa data bukan hanya catatan administratif, melainkan “emas baru” yang menentukan masa depan. Jika dunia bisnis bisa mengubah data menjadi laba, perguruan tinggi seharusnya bisa mengubah data menjadi kualitas pendidikan, reputasi, dan daya saing.
Langkah awalnya sederhana, manajemen harus berkomitmen, lalu membangun infrastruktur yang memadai. Jika dua hal ini berhasil dilakukan, maka jalan menuju transformasi big data di kampus akan terbuka lebih lebar.(Bersambung ke bagian kedua)
Penulis : Prof. Nurdin, S.Pd.,S.Sos.,M.Com.,Ph.D