OPINI – PENDIDIKAN ISLAM YANG MERANGKUL PEREMPUAN

Dalam lanskap Pendidikan Indonesia yang harus berkembang, perdebatan mengenai peran perempuan dalam Pendidikan Islam masih menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Di tengah arus modernisasi dan tuntutan kesetaraan gender, dunia Pendidikan Islam menghadapi tantangan untuk menciptakan ruang yang iklusif bagi kaum perempuan tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasinya.

Sejarah Islam sejatinya mencatat berbagai tokoh perempuan yang berperan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dari Khadijah yang menjadi tulang punggung ekonomi dakwah Rasulullah, hingga Aisyah yang menjadi rujukan hadis dan hukum Islam. Fatimah bahkan menjadi ahli fiqh terkemuka di abad ke-12, menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam tidak pernah menutup pintu bagi perempuan

Namun, seiring berjalannya waktu, interpretasi yang rigid terhadap teks-teks keagamaan dan pengaruh budaya partiarki telah mengikis peran strategis perempuan dalam dunia Pendidikan Islam. Akibatnya, banyak institusi Pendidikan Islam yang masih menerapkan pembatasan-pembatasan yang justru bertentangan dengan semangat egaliter ajaran Islam itu sendiri.

Di Indonesia, kita menyaksikan fenomena yang menarik. Di satu sisi, pesantren-pesantren tardisional mulai membuka diri dengan sistem co-education atau minimal memberikan kesempatan yang sama bagi santri perempuan untuk mengakses Pendidikan tinggi. Di sisi lain, masih terdapat resistensi terhadap kepemimpinan perempuan dalam struktur Pendidikan Islam, terutama dalam posisi-posisi strategis seperti kyai atau rektor.

Data menunjukkan bahwa jumlah mahasiswi di perguruan tinggi Islam bahkan lebih banyak dibandingkan mahasiswa laki-laki, namun, Ketika mereka lulus, peluang untuk menduduki posisi kepemimpinan dalam institusi Pendidikan Islam masih sangat terbatas. Ini menciptakakan paradoks: perempuan berprestasi dalam akademik, tetapi terhambat dalam berkontribusi secara maksimal bagi pengembangan Pendidikan Islam

Islam sesungguhnya memberikan landasan teologis yang kuat untuk pemberdayaan perempuan dalam Pendidikan. Ayat pertama yang turun, “iqra” (bacalah), tidak membedakan jenis kelamin. Hadis Nabi yang menyatakan “menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah” juga menunjukkan universalitas perintah belajar.

Konsep “rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) menuntut Pendidikan Islam untuk menjadi ruang yang menyejukkan bagi semua, termasuk perempuan. Ketika separuh populasi umat diabaikan potensinya, bagaimana mungkin Pendidikan Islam dapat mewujudkan misi rahmatan lil alamin?

Pertama, diperlukan reinterpretasi progresif terhadap nash-nash yang selama ini dijadikan dalil pembatasan peran perempuan. Pendekatan hermeneutik yang mempertimbangkan konteks historis dan semangat universal ajaran Islam perlu dikembangkan dalam kurikulum Pendidikan Islam.

Kedua, institusi Pendidikan Islam harus berani melakukan afirmative action dengan memberikan kesempatan kepemiminan bagi perempuan yang kompeten. Pengalaman Universitas al-Azhar yang dipimpin oleh rektor perempuan atau pesantren-pesantren di Indonesia yang dipimpin oleh nyai membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan tidak mengurangi otoritas spiritual suatu institusi.

Ketiga, pengembangan role model perempuan dalam sejarah Islam perlu dimasukkan dalam kurikulum. Mahasiswi dan santri perempuan membutuhkan figur inspiratif yang menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam memang terbuka bagi mereka.

Pendidikan Islam yang merangkul perempuan bukanlah bentuk kompromi terhadap modernitas, melainkan Kembali kepada nilai-nilai autentik Islam itu sendiri. Ketika perempuan diberikan ruang untuk berkembang dalam Pendidikan Islam, yang terjadi bukanlah sekularisasi, tetapi justru revitalisasi

Perempuan membawa perspektif yang unik dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, keluarga, dan masyarakat. Kontribusi mereka akan memperkaya khazanah keilmuan Islam dan membuatnya lebih relevan dengan tantangan zaman.

Indonesia, sebagai negara populasi muslim terbesar di dunia, memiliki kesempatan emas untuk menjadi pelopor dalam menciptakan model Pendidikan Islam yang inklusif. Jika berhasil, Indonesia tidak hanya akan menjadi rujukan bagi negara-negara muslim lainnya, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa Islam dan kesetaraan gender bukanlah dua hal yang bertentangan.

Saatnya Pendidikan Islam berhenti memarjinalkan separuh potensi umatnya. Saatnya merangkul perempuan sebagai mitra sejajar dalam membangun peradaban Islam yang gemilang. Karena sejatinya, kemajuan peradaban hanya dapat dicapai Ketika seluruh potensi manusia, tanpa memandang jenis kelamin, diberdayakan secara optimal.

Penulis: Doktor Kamridah 

Bagikan post ini