Diskursus pluralitas agama dan budaya sebagai kajian multikulturalisme, tidak hanya memiliki landasan normatif yang kuat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga rujukan historis dalam pengalaman kehidupan masyarakat multikultural di Negara Madinah pada masa Rasulullah Saw dan di Aelia, Yerussalem pada masa Umar bin Khattab.
Rasulullah Saw berhasil membangun negara Madinah (bukan negara Islam) dengan seperangkat konstitusinya (piagam madinah) yang menjunjung tinggi pluralitas agama dan budaya masyarakat Madinah.
Umat Yahudi dari bani Aus dan Kristen dari bani Najran mendapatkan perlindungan hukum, keamanan dan perlakuan yang setara dengan umat Islam. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, tetapi mereka menjadi ummatan wahidah, satu kesatuan yang utuh dalam menjalani kehidupan di Negara Madinah.
Dialektika pluralitas agama dan budaya antara masyarakat muslim dengan agama lain atau dalam internal umat Islam berlangsung scr dinamis. Bahkan, tidak jarang terseret dalam aksi kekerasan dan pembunuhan atas nama agama.
Beberapa realitas historis umat Islam tentang kekerasan dan pembunuhan berlatar perbedaan paham keagamaan berikut ini, menujukkan betapa rendahnya penghormatan umat Islam terhadap pluralitas paham keagamaan.
Persekusi terhadap pluralitas agama dan pemahaman keagamaan sudah banyak terjadi dalam realitas historis umat Islam. Kekerasan dan konflik kemanusiaan antara kelompok umat Islam yang sangat memilu terjadi pada masa Khulafaurrasyidin.
Tiga dari empat sahabat Rasulullah Saw harus mati di tangan umat Islam, saudaranya sendiri. Pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan interpretasi teks keagamaan ini sebagai akibat tidak menghormati pluralitas pemahaman keagamaan yang ada di kalangan umat Islam ketika itu.
Pada saat itu, muncul kelompok garis keras dlm internal umat Islam, sebut saja Khawarij yang mudah melakukan penunggalan kebenaran sendiri dan memaksa individu atau komunitas lain untuk mengikuti apa yang diyakini dalam mazhabnya. Jika tidak, maka mereka diklaim kafir, masuk neraka dan halal darahnya ditumpahkan.
Peristiwa kekerasan berjubah agama terus terjadi dalam internal umat Islam sampai periode Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah. Para penguasa dinasti melegitimasi suatu paham keagamaan utk melanggengkam ‘nafsu politik’ kekuasaan mereka.
Para penguasa Islam dan kroninya sudah tidak terhitung banyaknya melakukan aksi pembunuhan terhadap sudaranya sendiri yang tidak seetnik, semazhab dan sepaham dalam penafsiran teks keagamaan yang multi tafsir.
Kita sudah paham, periode Abbasiyah sebagai the golden age of Islam dalam pencapaian peradaban Islam di semua bidang keilmuan dan pembangunan fisik yang sangat artistik. Namun, siapa yang tidak terkejut, ketika terjadi pembekuan pemahaman keagamaan terhadap imam mazhab Ahmad ibnu Hambal karena polemik tentang doktrin kemakhlukan al-Qur’an.
Imam Ahmad yang beraliran Sunni tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa al-Qur’an bukan makhluk, sementara ulama penyokong penguasa negara melalui lembaga Mihnahnya menetapkan al-Qur’an adalah makhluk karena beraliran Muktazilah.
Kekerasan dan konflik berjubah agama terus mewarnai catatan buram perjalanan keberagamaan umat Islam hingga hari ini. Kasus Arab Spring misalnya, telah menyeret umat Islam di Timur Tengah saling membunuh antara sesama saudara muslimnya sendiri. Korban nyawa sudah tidak terhitung jumlahnya, sehingga menjadi realitas historis peradaban kemanusiaan yg paling mundur di era modern ini.
Ketika penganut agama lain ramai menyerukan pentingnya membangun perdamaian dunia berbasis etika global untuk merawat ketahanan bumi dan tatanan sosialnya, masyarakat Arab malah saling berperang dan menghancurkan atas nama kebenaran penafsiran relatif yang diyakininya.
Kasus Imam Ahmad dan banyak pemikir serta tokoh Islam lain yang menjadi tumbal karena mempertahankan pluralitas pemahaman agama dapat dijadikan rujukan betapa mudah umat Islam melakukan kekerasan dan pembunuhan atas nama agama dan aliran yang diyakini.
Bukankah Islam adalah agama damai, agama rahmatulil’alamin yang membawa keselamatan bagi seluruh isi alam tanpa melihat perbedaan agama dan pemahaman keagamaan yang diimani manusia?
Sikap intoleran umat Islam dalam menyikap perbedaan pemahaman keagamaan sebagai wujud nyata bahwa ada kelompok yang tidak menghormati pluralitas pemahaman dan praktik keagamaan yang selalu hadir dalam dialektika kehidupan umat Islam hingga saat ini.
Kekerasan, persekusi hingga kematian yang dialami Imam Ahmad dan tokoh2 lain menjadi catatan buram pluralisme agama dalam Islam dan indikator kuat bahwa agama sering dijadikan alat melegitimasi ambisi dan arogansi nafsu politik penguasa yang sering bernaung di bawah jubah agama Islam.
Berbeda agama, budaya dan pemahaman atas penafsiran teks dan doktrin agama menjadi hak setiap manusia yang dianugrahkan Tuhan utk dihormati. Tidak ada kekuatan hukum apapun yang dapat menghilangkan kebebasan setiap orang manganut agama dan pemahaman keagamaan yang diyakini.
Memaksa orang lain untuk seagama, sealiran dan sepaham dengan diri kita berarti melanggar ketetapan Tuhan atas keragaman yang telah diciptakan. Yang mau beriman silahkan dan yang mau kafir pun dipersilahkan Tuhan (QS. al-Kahfi: 29)
Allah saja membebaskan manusia yang mau beriman atau kafir, tetapi mengapa manusia sering mengambil wilayah Tuhan dengan menjastis orang/kelompok yang berbeda kafir masuk neraka.
Lebih parah lagi dalam kehidupan duniawi ini, ada kelompok umat muslim yang tidak menghormati orang yang tidak seagama, sealiran, semazhab atau yang tidak sepaham dengan dirinya untuk bebas menentukan pemikiran dan sikap keagamaannya. Mereka akan dicap kafir, sesat, harus diperangi dan dibunuh.
Semoga kita selaku generasi bangsa Indonesia lebih bijak melihat pluralitas agama dan budaya sebagai ketatapan Tuhan yang tidak dapat diingkari dalam eskalasi kehidupan masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Wallahu’allam.
Saepudin Mashuri, Dosen Pascasarjana UIN Datokarama Palu, Pengakaji Multikulturalisme dan Pluralisme Agama.