Pandangan Akademisi UIN Palu Terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. _Oleh: Doktor Sahran Raden_

1. Putusan Mahkamah Konstutusi ini sebagai kelanjutan putusan MK sebelumnya pada putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan putusan MK Nomor 55/PUU-/2019.

2 Putusan MK no 135/2024 merupakan kebijakan politik hukum yang tidak senapas dengan makna pasal Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu DPRD . UUD 1945 memang tidak memisahkan penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres. Serta prmilihan DPRD.

3. Namun demikian putusan MK inib meruoakan Paradigma ketetanengaraan telah berkesuaian dengan praktek ketatanegaraan kita yang secara konstutusisonal berdasarkan prinsip pemerintahan Presidensial. Artinya putusan MK nomor 135/2024 adalah memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Putusan MK no 135/2024 ini mempertegas terhadap struktur ketatanegaraan yang membedahkan lapis kekuasaan lembaga lembaga negara dengan sistem pemerintahan daerah. Dimana lembaga negara eksekutif dan legislatif seperti DPR dan Presiden sedangkan DPRD dan Gubernur, Bupati, walikita merupakan struktur kekuasaan lapis ketiga sebagai penerapan sistem pemerintahan yang menganut sistem desentralisasi dan otonomi daerah.

4. Dalam dinamika politik hukum dimana perjuangan dalam merevisi UU Pemilu sulit untuk diwujudkan oleh pembentuk UU. Terutama terkait dengan pilihan pilihan desain keserentakan pemilu sebagaimana dalam putusan MK , dimana kebijakan penerapan pemilu serentak adalaha kebijakan legal policy pembentuk UU.

4. Bahwa harapan dan perintah Mahkamah untuk menyerahkan pembahasan terhadap format keserentakkan pemilu kepada pembentuk undang-undang, agar memilih format keserentakkan pemilu yang betul-betul memudahkan pemilih, menjaga prinsip kedaulatan rakyat, memastikan pelembagaan partai politik bisa terwujud, serta memperkuat sistem presidensil, akan sangat sulit bisa diwujudkan, karena tingginya konflik kepentingan yang terjadi pada diri pembentuk undang-undang, khususnya berkaitan dengan format keserentakkan pemilu;

5. Bahwa kesempatan untuk terbukanya ruang yang memadai dalam proses legislasi untuk membahas dan menghitung secara cermat dampak dari pilihan keserentakkan pemilu, khususnya kemudahan pemilih, upaya peningkatan derajat keterwakilan, beban penyelenggara pemilu tidak berat, terbukti sangat sulit untuk diwujudkan. Hal itu disebabkan terjadinya tarik menarik kepentingan yang terlalu besar di antara partai politik, berkaitan dengan pilihan keserentakkan pemilu yang menguntungkan atau tidak. Dengan demikian salah satu jalana konstitusional dilakukana melalui uji materi pada Mahkamah Konstitusi.

6. Pasca putusan MK ini mau tidak mau maka pemerintah dan DPR harus merevisi secepatnya UU Pemilu dan UU Pilkada yang masuk dalam legislasi nasional.

7. Pembentuk UU dalam hal ini DPR dan pemerintah perlu memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis dalam pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal atas pilihan model yang secara konstitusional sebagai putusan MK sehingga pelaksanaan pemilu berikutnya berada dalam batas penalaran yang wajar terutama dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas dan demokratis.

8. Perubahan atau revisi UU Pemilu dan Pilkada perlu dilaksanakan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum pemilu dilaksanakan. Pilihan model keserentakan pemilu yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal perlu partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilu.

Catatan: Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara UIN Datokarama.