Rektor UIN Datokarama: Jadikan Ramadhan sebagai perekat hubungan kemanusiaan

Palu, 27/2 (UIN-DK) – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Profesor Lukman Thahir mengajak masyarakat khususnya umat Islam di Provinsi Sulteng, untuk menjadikan Ramadhan 1446 Hijriah Tahun 2025 Masehi sebagai perekat hubungan kemanusiaan atau hubungan antar sesama manusia.

“Manfaatkanlah momentum Ramadhan ini untuk mengasah dan meningkatkan kualitas hubungan sosial kita sesama manusia,” imbuh Profesor Lukman Thahir, di Kota Palu, Kamis.

Rektor mengatakan bahwa Ramadhan menjadi salah satu bulan yang berkah. Maka, umat Islam harus berbahagia menyambutnya. Di tengah kebahagian itu, ujar dia, tidak boleh ada kelompok – kelompok tertentu yang merasa paling benar, sehingga menyalahkan kelompok lain.

“Stop berdebat dan berbantah – bantahan, serta stop menyalahkan orang dan kelompok lain,” sebutnya.

Rektor mengakui bahwa umat Islam di Indonesia termasuk di Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki tradisi penyambutan bulan suci Ramadhan seperti pawai obor, ziarah makam, pemanjatan doa syukuran dan selamatan, dan sebagainya.

“Tradisi – tradisi yang dilaksanakan secara turun menurun, tidak boleh dipandang sebagai sesuatu berlebihan sehingga disalahkan. Padahal tradisi tersebut salah satu substansi sederhananya ialah, sebagai bentuk pemanjatan doa dan syukur karena masih berjumpa dengan bulan Ramadhan,” ucapnya.

“Maka tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan tradisi – tradisi tersebut,” imbuhnya.

Begitu juga mengenai perbedaan jumlah rakaat dalam pelaksanaan sholat tarawih antara 20 rakaat dan delapan rakaat. Kemudian, masalah qunut dan tidak qunut.

“Perbedaan yang ada tidak perlu dipertentangkan dan dipermasalahkan, agar di bulan Ramadhan ini hubungan sesama manusia terjalin dengan baik,” imbuhnya.

Rektor Profesor Lukman mengisahkan kisah Imam Malik dan Imam Syafi’i yang berdebat tentang rezeki. Perdebatan Imam Malik dan Imam Syafi’i merujuk pada Hadits Nabi yang Artinya: “Andai saja kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, maka Allah akan memberi rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, di mana ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar, pulang sore dalam keadaan kenyang”. (HR. Malik dikutip oleh Imam Az-Zarqani, Syarah al-Muwatha’).

Imam Malik berpendapat bahwa rezeki itu datang tanpa usaha. Seseorang cukup bertawakal saja, niscaya Allah akan memberinya rezeki. Imam Syafi’i berpendapat sebaliknya. Ia berkata, “Wahai Guru, andai seekor burung tidak keluar dari sarangnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?”

Suatu ketika, saat sedang berjalan-jalan, Imam Syafi’i melihat rombongan orang yang sedang memanen anggur. Sang Imam pun ikut membantu mereka, lantas ia mendapat imbalan beberapa ikat anggur dari mereka. Begitu mendapat imbalan anggur, Imam Syafi’i lantas bergegas kembali menemui gurunya. Sang guru pun terlihat tengah bersantai. Sambil menaruh ikatan anggur yang dibawanya, Imam Syafi’i menceritakan pengalamannya. Ia berkata, “Andai saya tidak keluar dari rumah dan tidak bekerja, tentu anggur ini tidak akan sampai kepada tangan saya.”

Mendengar demikian, Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Kemudian, Imam Malik berkata, “Sehari ini aku tidak keluar rumah. Hanya mengajar saja. Dan sempat membayangkan betapa nikmatnya dalam cuaca panas seperti ini saya bisa menikmati buah anggur.”

“Untungnya, engkau datang membawakannya untukku. Bukankah ini yang dimaksud dengan, ‘Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus yang lain.” Akhirnya, keduanya pun tertawa lebar dan mereka melanjutkan menikmati buah anggur tersebut.

“Kisah ini perlu menjadi pelajara bagi umat beragama, bahwa perbedaan pendapat, perbedaan mazhab, faham, dan sebagainya, merupakan hal biasa. Jangan sampai perbedaan membuat kita bertikai. Marhaban Ya Ramadhan” demikian Profesor Lukman Thahir.***

Penulis Naskah: Muhammad Hajiji