Jihat Intelektual Ala Nasaruddin Umar

Dalam lanskap pemikiran Islam Indonesia kontemporer, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A menempati posisi unik sebagai pemikir, ulama, sekaligus negarawan yang menjembatani tradisi dan inovasi.

Gagasan-gagasannya tentang eko-teologi, kurikulum cinta, hingga green religion tak hanya menjadi percikan wacana, tetapi juga membentuk gerakan sosial keagamaan yang aktual dan relevan.

Melalui pendekatan yang inklusif, spiritual, dan intelektual, Nasaruddin Umar menampilkan wajah Islam yang ramah, ekologis, dan penuh kasih sesuatu yang sangat dibutuhkan di tengah krisis lingkungan dan kemanusiaan global.

Eko-Teologi: Islam dan Kesadaran Ekologis

Nasaruddin Umar adalah satu dari sedikit ulama yang menempatkan ekologi dalam kerangka teologi Islam. Ia tidak melihat alam sekadar sebagai objek eksploitatif, tetapi sebagai bagian dari sistem ilahiah yang memiliki martabat spiritual.

Dalam pandangannya, alam adalah ayat kauniyah tanda-tanda kebesaran Allah yang harus dijaga, dirawat, dan dihormati. Pemikiran ini menjadi landasan utama bagi pengembangan eko-teologi Islam, yakni pendekatan yang memadukan spiritualitas dengan kesadaran ekologis.

Gagasan ini bukan tanpa dasar. Dalam Al-Qur’an, alam disebutkan lebih dari seribu kali menandakan betapa sentralnya hubungan manusia dengan lingkungan. Nasaruddin Umar mengartikulasikan bahwa merusak alam adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah khalifah.

Oleh karena itu, perjuangan menjaga lingkungan hidup adalah bagian dari jihad bukan dalam bentuk senjata, tetapi jihad intelektual dan moral untuk membangun kesadaran ekologis umat.

Melalui Masjid Istiqlal, ia mengimplementasikan gagasan ini dengan konkret. Konsep “Masjid Ramah Lingkungan” bukan sekadar jargon, melainkan menjadi proyek percontohan yang menjadikan rumah ibadah sebagai pusat edukasi dan aksi lingkungan.

Dari pengelolaan sampah, konservasi energi, hingga pelestarian air, Nasaruddin menjadikan masjid sebagai episentrum green movement berbasis keagamaan.

Kurikulum Cinta: Islam yang Menyentuh Hati

Dalam dimensi pendidikan dan dakwah, Nasaruddin menawarkan gagasan kurikulum cinta sebuah pendekatan yang menempatkan kasih sayang sebagai fondasi utama pengajaran agama.

Berangkat dari prinsip rahmatan lil alamin, kurikulum ini menolak pendekatan dogmatis dan menggantinya dengan narasi-narasi kelembutan, empati, dan keadilan spiritual.

Menurutnya, banyak konflik keagamaan muncul karena kurangnya pemahaman mendalam terhadap aspek kasih dalam agama.

Ia menolak interpretasi Islam yang kaku, eksklusif, dan menghukum, dan justru mengusung pendidikan Islam yang membebaskan, memuliakan manusia, dan merawat perbedaan.

Kurikulum cinta juga menjadi upaya melawan radikalisme dengan cara yang elegan bukan dengan senjata, tetapi dengan membentuk hati dan pikiran yang inklusif.

Dalam berbagai forum internasional, Nasaruddin menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengancam, tetapi yang memeluk dan melindungi. Kurikulum cinta menjadikan Islam tidak hanya logis, tetapi juga indah dan menenangkan.

Green Religion: Islam Sebagai Gerakan Perubahan Global

Istilah green religion dalam pemikiran Nasaruddin Umar bukan hanya sebatas retorika, tetapi menggambarkan bahwa Islam memiliki ajaran mendasar untuk melestarikan bumi.

Ia menekankan bahwa setiap ritual Islam, seperti wudhu, puasa, haji, hingga sedekah, memiliki nilai-nilai ekologis. Misalnya, puasa melatih pengendalian diri atas konsumsi; sedekah mengurangi ketimpangan ekonomi yang kerap memperburuk eksploitasi alam.

Dengan menjadikan Islam sebagai green religion, Nasaruddin Umar mendorong umat Islam tidak menjadi bagian dari kerusakan lingkungan, tetapi menjadi pelopor perubahan.

Dalam forum lintas agama dan dialog global, ia menunjukkan bagaimana Islam dapat memberikan kontribusi terhadap solusi krisis iklim dan ekologi global membentuk solidaritas lintas iman untuk menyelamatkan bumi.

Jihad Intelektual: Melampaui Mimbar, Menyapa Dunia

Apa yang dilakukan Nasaruddin Umar sejatinya adalah jihad intelektual perjuangan menggunakan akal, ilmu, dan spiritualitas untuk menjawab tantangan zaman.

Ia tidak membatasi dakwah di atas mimbar, tetapi masuk ke ruang-ruang strategis: akademik, politik, diplomasi antaragama, dan masyarakat sipil.

Ia menulis buku, berdialog dengan tokoh dunia, memimpin lembaga besar, dan tetap hadir membimbing umat.

Jihad intelektual ini membuktikan bahwa ulama tidak harus anti-modernitas. Justru sebaliknya, ulama bisa menjadi agen transformasi, jika mampu membaca zaman dan mengolah ajaran menjadi energi peradaban.

Nasaruddin Umar menunjukkan bahwa Islam tidak berjarak dari tantangan dunia modern tetapi hadir sebagai solusi.

Pemikiran Nasaruddin Umar sebagai cahaya yang membimbing arah perjuangan kita hari ini. Kita membutuhkan lebih banyak ulama yang berpikir lintas disiplin, mencintai lingkungan, menjunjung cinta kasih, dan aktif di panggung dunia.

Jihad intelektual ala Nasaruddin Umar adalah inspirasi untuk kita semua bahwa menjadi cendekiawan muslim bukan hanya soal keilmuan, tetapi juga keberanian menghidupkan nilai-nilai Islam dalam tindakan nyata.(*)

Penulis: Muhammad Aras Prabowo (Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor dan Intelektual Muda Nahdlatul Ulama)

Sumber: https://sulbar.tribunnews.com/2025/07/16/jihad-intelektual-ala-nasaruddin-umar