Kemabruran Haji: Antara Spiritualitas dan Dinamika Keummatan Oleh: Profesor Saepudin Mashuri

Kemabruran haji merupakan puncak harapan setiap Muslim yang menunaikan ibadah haji. Secara terminologis, kemabruran haji merujuk pada pelaksanaan ibadah haji yang diterima oleh Allah SWT karena memenuhi rukun, syarat sah dan dilakukan dengan benar, penuh keikhlasan untuk menggapai ridha Allah SWT.

Dalam hadis Rasulullah SAW disebutkan bahwa haji mabrur akan mendapatkan balasan yang tinggi dan mulia dari Allah: “Al-hajju al-mabrūr laisa lahu jazā’un illā al-jannah” (Haji yang mabrur tidak ada balasan lain kecuali surga) (HR. Bukhari, no. 1773; Muslim, no. 1349). Imam Nawawi menafsirkan “mabrur” sebagai haji yang tidak tercampur dengan dosa dan dilakukan secara ikhlas berdasarkan kesadaran imaniyah dan ketakwaan semata (Nawawi, 2003: 429).

Makna kemabruran dalam konteks ini tidak hanya pada aspek ritual ibadah, tetapi mencakup perubahan moral dan sosial di saat pelaksanaan ibadah haji dan pasca-berhaji. Allah SWT menegaskan nilai spiritualitas haji dalam QS. Al-Baqarah [2]:197, “…barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), fusuq (berbuat dosa), dan jidal (bertengkar) di dalam masa mengerjakan haji,”.

Ayat al-Qur’an ini menekankan dimensi etika dalam ibadah haji yang menjadi indikator kemabruran. Dari pengalaman menunaikan ibadah haji selama di Makkah dan Madinah, ayat ini menjadi pedoman utama yang mengikat jamaah haji untuk selalu berhati-hati dalam bertuturkata dan bertindak antara sesama. Setiap jamaah haji berusaha sekuat mungkin jangan sampai melanggar ajaran Allah SWT terkait etika-moral dalam seluruh rangkaian pelaksanaan ibadah haji.

Selain itu, spiritualitas haji juga tergambar dalam aspek penghambaan total setiap jamaah haji kepada Allah SWT, perenungan akan asal-usul manusia, dan penghormatan terhadap jejak spritual Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Ritual thawaf, sa’i, wukuf, mabit dan jumrah merupakan simbol kepasrahan dan pencarian makna hidup, sebagaimana ditegaskan dalam hadis: “Ambillah manasikmu dariku…” (HR. Muslim, no. 1297), menunjukkan dimensi keteladanan, kepasrahan dan keihklasan dalam beribadah.

Dalam ibadah haji tidak mengenal perbedaan status sosial, kebangsawanan, apalagi cuma jabatan dan gelar akademik. Semua manusia setara, bersatu dan bersama-sama menunjukkan penghambaannya kepada Allah semata.

Setiap jamaah haji khusuk dan sibuk mengingat dosa sepanjang hidup, kedurhakaan kepada orangtua, kezholiman kepada orang lain, harta benda yang tidak halal dan berbagai prilaku buruk lainnya. Maka, setiap jamaah haji pasti terbawa pada tinggkat kesadaran spritual yang mendalam, mereka tersedu-sedu, menangis dengan cucuran air mata, mengakui kehinaan dan dosa-dosa yang pernah dilakukan sepanjang hidup.

Namun, di balik aspek spiritual ini, haji juga merupakan ajang dinamika sosial dan keumatan. Setiap tahun, jutaan Muslim dari berbagai negara, suku, ras, dan latar belakang budaya berkumpul di satu tempat yang sama, mengenakan pakaian serupa (ihram), tanpa identitas sosial yang membedakan. Ini menjadi wujud nyata konsep universalitas Islam dan ukhuwah Islamiyah. Dalam konteks ini, Makkah menjadi miniatur umat Islam global—dari Afrika, Asia, Eropa, hingga Amerika, berkumpul dengan satu tujuan: taqarrub kepada Allah.

Meski demikian, keberagaman ini juga menimbulkan dinamika. Perbedaan mazhab, bahasa, kebiasaan, bahkan pandangan keagamaan bisa memunculkan friksi kecil dalam interaksi jamaah. Misalnya, praktik ziarah kubur yang berbeda tafsirnya di antara mazhab Sunni dan Syiah, perbedaan dalam membaca doa dan manasik, perbedaan gerakan sholat dan berbagai perbedaan ritual ibadah umat Islam lainnya disaksikan langsung di dua masjidil haram (al-Haromain), Makkah dan Madinah.

Disinilah pentingnya toleransi dan pemahaman lintas mazhab sebagai bagian dari makna haji yang mabrur—yakni menciptakan harmoni di tengah keberagaman umat Islam. Umat Islam tunggal (wahid) dalam dismensi teologis-spritual, tetapi berbeda dalam banyak ungkapan dan tindakan ibadah-ritual.

Dengan demikian, kemabruran haji bukan hanya ditentukan oleh kesempurnaan ritual, tetapi juga sejauh mana nilai-nilai spiritualitas dan sosial selama berhaji dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, baik di saat pelaksanaan rangkaian ibadah haji di al-Haromain maupun selama di tanah air masing-masing.
Sebagai ikhtitam, setiap haj adalah tamu Allah (Dhuyufurrahman) yang sudah meneguhkan niat menuju panggilan-Nya, mereka telah meninggalkan semua larangan berhaji secara ikhlas, menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji (manasik haji) yang panjang dan melelahkan secara tawadhu semata-semata ketaatan kepada Allah.

Semoga Allah SWT menerima penghambaan berhajinya dan mereka mendapatkan gelar haji MABRUR. Haji mabrur menjadi cermin kualitas keislaman setiap haj, bukan sekadar gelar sosial-religius, tetapi komitmen moral-kemanusiaan yang akan disemaikan antara sesama manusia pada medan kehidupan nyata yang beragam pasca-berhaji. Wallahu’allamu bishawab.**

Madinah, 1 Juli 2025

Referensi:
Al-Nawawi, Yahya. (2003). Syarah Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Hadis no. 1773.
Muslim, Imam. Shahih Muslim, Hadis no. 1297 dan 1349.
Azra, Azyumardi. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Jakarta: Kencana.

Catatan: Penulis Adalah Dekan Fakultas Tarbiyah Ilmu Keguruan UIN Datokarama Palu