Agama sejatinya dihadirkan Tuhan untuk memuliakan harkat, martabat dan peradaban manusia, bukan merusak, menghancurkan apalagi membunuh manusia dan kemanusiaannya. Kekerasan apapun yang mengatasnamakan agama atau “hasrat ingin membahagiakan dan membela Tuhan” adalah bertentangan dengan ajaran dasar semua agama. Menebarkan prinsip, nilai dan prilaku kemanusiaan untuk keselamatan umat manusia apapun agamanya, tidak kalah mulia daripada penyembahan kepada Tuhan. Maka, fungsi agama harus dikembalikan pada peran substantifnya sebagai panduan spiritualitas dan moral bagi kemanusiaan universal, bukan hanya diisolasi dan dijadikan pedoman pada dimensi ritual ibadah formal semata.
Pengarusutamaan moderasi beragama menjadi agenda penting dalam konteks keragaman umat manusia secara global, nasional dan lokal. Dalam bingkai keindonesiaan, sejak awal berdirinya bangsa Indonesia, para pendiri dan guru bangsa telah meletakkan pondasi yang tepat dan kuat bagi integrasi, persatuan dan stabilitas masyarakat Indonesia yang berbhineka.
Itulah Pancasila, ideologi dan falsafah hidup masyarakat majemuk yang cinta damai dalam kebhinekaannya. Suatu tipologi masyarakat sipil yang berperadaban mulia, meminjam istilah Piagam Madinah, yaitu masyarakat tamaddun dengan keragaman aset budaya dan penghormatan yang tinggi kepada kemanusiaan universal.
Dalam bentangan sejarah yang panjang, masyarakat Indonesia sudah mengalami dinamika, pasang surut bahkan konflik sosial yang berdarah-darah dalam upaya membangun relasi yang harmonis antara agama dan negara, titik temu antarumat beragama dalam urusan kemanusiaan. Diperparah lagi oleh rongrongan kelompok keagamaan ekterim kanan, ultra konservatif yang mengusung idiologi khilafah dan formalisasi hukum Islam dalam bernegara.
Fakta aktual yang dihadapi umat beragama hari ini semakin genting, yaitu gerakan massif radikalisme beragama dengan menggunakan media digital untuk menyebarkan, menanamkan dan merekrut anggota baru. Mereka selalu menjual dan mengatasnamakan Tuhan, teks suci, isu dan sentimen agama untuk melakukan pembenaran atas tindakan kekerasan, intoleransi dan pembunuhan yang dilakukan kepada orang/komunitas yang berbeda.
Semua manusia menjadi sasaran gerakan radikalisme ini, dari pejabat birokrasi sampai rakyat jelata, dari kaum intelektual hingga orang tidak terdidik, dari ulama hingga orang jalanan yang baru kenal Tuhan dan agama, tidak melihat perbedaan gender laki dan perempuan, tidak mengenal batasan usia dari orangtua sampai anak muda-pelajar, tidak peduli dengan kelas sosial dari kaum berjois-kaya sampai orang miskin-pinggiran.
Pada kenyataannya, gerakan radikalisasi agama oleh kelompok ultra konservatif ini berjalan tidak seimbang dengan gerakan moderasi beragama yang dilakukan oleh komunitas Islam moderat. Kondisi ini yang sebut dalam perspektif teori sosial Struktural Fungsional sebagai tatanan kehidupan masyarakat yang tidak stabil, dimana lembaga2 keagamaan, kebudayaan dan termasuk lembaga pendidikan tidak menjalankan fungsinya secara normal dalam menciptakan kelangsungan dan kenyamanan hidup masyarakat pluralistik.
Fenomena dan fakta ektrimitas berbaju keagamaan di atas penting direspon oleh semua umat dengan menjadikan moderasi beragama yang berpijak pada prinsip dan nilai moderat dalam ajaran agama masing2 sebagai perspektif menyikapi dan mengelola segala perbedaan. Semua anak bangsa, baik secara personal ataupun komunal harus memiliki pemahaman, kesadaran sikap beragama yang moderat agar seimbang dalam menyikapi keragaman iman, ritual ibadah dan kelompok keagaman yang berbeda dalam internal suatu agama, tidak ektriem kanan-radikal dan kiri-libral/sekuler.
Pada posisi ini, moderasi beragama menjadi perspektif/cara pandang umat beragama dalam mendialogkkan teks suci agamanya dengan konteks yang terjadi pada realitas kehidupan sosial masyarakat pluralistik. Sehingga umat beragama tidak ekterim kanan menjadi ultra konservatif dan tidak pula ekterim kiri menjadi libral-sekuler di saat menerapkan ajaran agamanya di tengah kergamaan umat manusia (keluarga, masyarakat dan nagara).
Umat beragama yang moderat akan selalu mengambil jalan tengah (wasathiyyah), seimbang (tawazun) dan adil (i’tidal) dalam menyikapi dua kutub yang radikal. Dalam praktiknya, mereka akan selalu berupaya mendamaikan dua sisi yang ekstrim secara moderat. Umat beragama moderat mencari solusi jalan tengah dalam mendialogkan teks dan konteks, tidak hanya hitam putih pada teks keagamaan semata, tetapi juga memperhatikan konteks kehidupan masyarakat majemuk. Dengan perspektif moderasi beragama, semua umat akan akan menempatkan keragaman manusia sebagai karunia Tuhan dan berkah bagi kehidupan, tidak menjadi sumber konflik. Dengan demikian, pluralitas dan diversitas apapun bentuknya (agama, etnis, kebudayaan, ekonomi, afiliasi politik, pendidikan, bentuk fisik, ideologi negara dll) akan disikapi secara moderat kapan dan dimanapun teks-teks agama didialogkan dengan realitas kehidupan masyarakat majemuk.
Kata kuncinya adalah moderasi beragama membutuhkan dukungan seluruh komponen bangsa, secara individual dan kolektif, instansi pemerintah dan swasta, ormas sosial dan budaya, lembaga keagamaan dan pendidikan demi keutuhan rakyat Indonesia dari berbagai konflik dan disintegrasi bangsa.
Saepudin Mashuri